
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
![]() |
Maraṇasati ( perhatian penuh terhadap kematian, kewaspadaan terhadap kematian), juga dikenal sebagai maraṇānussati ( perenungan terhadap kematian), adalah praktik meditasi Buddhis untuk mengingat (kerap kali mengarahkan batin pada ingatan) bahwa kematian dapat menyerang kapan saja ( AN 6.20). Oleh karena itu, seseorang dianjurkan untuk berlatih dengan tekun ( ) dan penuh urgensi di setiap momen, bahkan dalam waktu sependek satu tarikan napas. Tidak berlatih dengan tekun setiap saat disebut sebagai kelalaian oleh Sang Buddha ( AN 6.19). Dalam khotbah-khotbah awal Sang Buddha, istilah ' Maraṇasati ' hanya didefinisikan secara eksplisit dua kali, dalam dua sutta , yakni AN 6.19 dan AN 6.20.
Aliran-aliran Buddhis belakangan memperluas makna ' maraṇasati ' untuk mencakup berbagai teknik visualisasi dan kontemplasi untuk bermeditasi tentang hakikat kematian . Pengembangan maraṇasati dikatakan kondusif untuk usaha yang benar , dan juga membantu dalam mengembangkan rasa desakan atau urgensi spiritual ( saṁvega ) dan pelepasan keduniawian ( nekkhamma ). [ 1 ]
Buddhisme Theravāda
Perhatian penuh terhadap kematian merupakan praktik umum di berbagai wihara di Asia Tenggara . [ 1 ] Wihara seperti sering memajang kerangka manusia di ruang meditasinya. [ 2 ]
Dalam Tripitaka Pali
( MN 10) dan ( MN 119) memuat bagian tentang "perhatian/perenungan kuburan" yang berfokus pada (Pali: nava sīvathikā-manasikāra ). Sembilan tahap tersebut adalah:
- Mayat yang "bengkak, biru, dan bernanah."
- Mayat yang "dimakan oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis cacing."
- Mayat yang "hanya tinggal kerangka, dengan (sebagian) daging dan darah yang tertahan oleh urat."
- Mayat yang "hanya tinggal kerangka berlumuran darah tanpa daging, tetapi tertahan oleh urat."
- Mayat yang "hanya tinggal kerangka yang tertahan oleh urat namun tanpa daging dan tidak berlumuran darah."
- Mayat yang "hanya tinggal tulang-tulangnya yang terlepas dan berserakan di segala arah."
- Mayat yang "hanya tinggal tulang belulang, berwarna putih seperti keong."
- Mayat yang "hanya tersisa tulang-tulang yang sudah berumur lebih dari setahun, ditumpuk jadi satu."
- Mayat yang "telah menjadi tulang belulang, membusuk, dan menjadi debu." [ 3 ]
memberi petunjuk kepada pemeditasi untuk merenungkan demikian: 'Tubuhku ini juga memiliki sifat yang sama dengan tubuh itu, akan menjadi seperti tubuh itu, dan belum melampaui kondisi menjadi seperti tubuh itu.'

Menurut ( AN 6.20), seorang biku hendaknya merenungkan banyak kemungkinan yang dapat membawanya kepada kematian, dan kemudian mengarahkan pikirannya kepada kualitas batin buruk yang belum ditinggalkannya. “Seperti halnya seseorang yang serban atau kepalanya terbakar, akan mengerahkan hasrat , usaha , ketekunan, daya upaya, perhatian penuh , dan kewaspadaan ekstra untuk memadamkan api di serban atau kepalanya, demikian pula seorang biku harus mengerahkan hasrat, usaha, ketekunan, daya upaya, perhatian penuh, dan kewaspadaan ekstra untuk meninggalkan sifat-sifat jahat dan buruk tersebut.” [ 5 ]
Dalam Visuddhimagga
Menurut kitab Visuddhimagga karya Buddhaghosa , ada delapan cara bermeditasi tentang kematian:
bermeditasi tentang kematian sebagai pembunuh, karena ia (kematian) merenggut kehidupan; bermeditasi tentang kematian sebagai kehancuran atas keberhasilan; melihatnya dengan membandingkan dengan orang-orang terkenal, merenungkan bahwa bahkan mereka yang agung pun akhirnya wafat, bahkan makhluk yang tercerahkan sekalipun; bermeditasi tentang tubuh sebagai tempat bernaung bagi banyak makhluk—banyak cacing maupun sasaran bagi makhluk lainnya; bermeditasi tentang kesulitan untuk tetap hidup; bermeditasi tentang kematian sebagai sesuatu yang tanpa sebab khusus, karena makhluk hidup mati secara tak terduga; bermeditasi tentang singkatnya masa hidup; bermeditasi tentang kenyataan bahwa, secara tepat, masa hidup makhluk hanyalah satu momen kesadaran ( citta ) bahwa, dalam arti tertentu, seseorang mati di setiap momen. [ 6 ]
Buddhisme Tibet

Perhatian-penuh akan kematian merupakan ajaran utama Buddhisme Tibet : praktik ini merupakan salah satu dari "Empat Pemikiran" yang mengarahkan batin menuju praktik spiritual. Satu set perenungan Buddhisme Tibet tentang kematian berasal dari cendekiawan Buddhis abad ke-11 bernama Atisha . [ 7 ] Atisha dikatakan pernah berkata kepada murid-muridnya bahwa jika seseorang tidak menyadari kematian, meditasinya hanya akan memiliki sedikit kekuatan. [ 8 ]
Perenungan Atisha tentang kematian:
- Kematian tidak dapat dihindari.
- Usia hidup kita terus menurun.
- Kematian akan datang, terlepas dari apakah kita siap atau tidak.
- Harapan hidup manusia tidak pasti.
- Ada banyak penyebab kematian.
- Tubuh manusia rapuh dan rentan.
- Pada saat kematian, sumber daya materi kita tidak berguna bagi kita.
- Orang yang kita cintai tidak dapat menjauhkan kita dari kematian.
- Tubuh kita sendiri tidak dapat menolong kita pada saat kematian kita.
Praktik Buddhisme Tibet lainnya berhubungan langsung dengan momen kematian, mempersiapkan pemeditasi untuk memasuki dan mengarungi , tahap peralihan antara hidup dan mati. Teknik meditasi ini merupakan tema dari karya populer berjudul .
Lihat juga
Referensi
- ^ a b (15 September 2020). "The Supreme Meditation" . . Diakses tanggal 11 Juni 2021 .
- ^ Ajahn Jagaro, Death and Dying, http://www.katinkahesselink.net/tibet/death_jagaro.html
- ^ The Way of Mindfulness The Satipatthana Sutta and Its Commentary by Soma Thera, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/soma/wayof.html#discourse
- ^ from Teaching Dhamma by pictures: Explanation of a Siamese Traditional Buddhist Manuscript
- ^ AN 6.20 Maranassati Sutta: Mindfulness of Death (2) diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Thanissaro Bhikkhu http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an06/an06.020.than.html
- ^ Potter, Karl H (1970). "The Encyclopedia of Indian Philosophies Vol. IX Buddhist Philosophy From 350 to 650 AD," hlm. 124.
- ^ Joan Halifax Roshi, The Nine Contemplations of Atisha. http://www.upaya.org/roshi/dox/Contemplations.pdf
- ^ Powers, John. Introduction to Tibetan Buddhism, Ch. 10