Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia) |
---|
![]() |
Hukum |
Pemerintahan Pusat |
Pemerintahan Daerah |
Politik Praktis |
Kebijakan luar negeri |
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 45) telah diamandemen sebanyak empat kali sejak dibuat, dimana seluruh amandemen tersebut disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada periode 1999–2002.
Tata cara amandemen UUD 45 tercantum pada pasal 37 UUD 45. Amandemen dilakukan sepenuhnya oleh seluruh komponen legislatif yaitu MPR yang merupakan gabungan dari dua komponen yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Prosedur amandemen
Tata cara amandemen UUD 45 diatur dalam Pasar 37 UUD 45. Prosedur tersebut dibuat saat amandemen UUD 45 keempat pada tahun 2002.
Pasal 37 UUD 45 menyebutkan bahwa amandemen membutuhkan usulan dari setidaknya sepertiga dari jumlah keseluruhan anggota MPR secara tertulis dengan menyebutkan tujuan amandemen dan alasannya. dari sidang istimewa amandemen UUD 45 adalah dua pertiga dari anggota MPR sedangkan usulan amandemen hanya membutuhkan suara mayoritas sederhana (50%+1) untuk disahkan oleh MPR. Sebelumnya dibutuhkan persetujuan mayoritas dari dua pertiga anggota agar amandemen disetujui tetapi hal tersebut diubah menjadi mayoritas sederhana pada amandemen UUD 45 keempat.
Pasal 37 UUD 45 juga menegaskan satu-satunya bagian UUD yang tidak boleh diubah adalah mengubah sifat negara Indonesia sebagai negara kesatuan .
Sejarah

UUD 45 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 untuk waktu yang sangat pendek sebagai dasar pembentukan Republik Indonesia Serikat dan kemudian digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia pada Era Demokrasi Liberal (1950–1959). UUD 45 kembali berlaku pasca keluarnya Dekrit Presiden Republik Indonesia 1959 pada 5 Juli 1959 sebagai jalan keluar kegagalan Konstituante Republik Indonesia membuat UUD baru menggantikan UUD Sementara 1950.
Pada era Orde Baru , otoritas berkomitmen untuk tidak melakukan amandemen terhadap UUD 45, karena mereka menganggap UUD 45 merupakan sebuah produk final dan "kesuciannya" harus dijaga. Meskipun MPR menegaskan pendiriannya untuk tidak mengubah UUD 45 tetapi melalui TAP MPR 1/1983 MPR menuliskan tata cara untuk mengubah UUD 45 yaitu usulan perubahan harus diajukan oleh minimal 4 fraksi (dari 5 fraksi) dan harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR agar perubahan bisa disahkan. [ 1 ] Setelah pengesahan awal, undang-undang tersebut selanjutnya mengamanatkan referendum konstitusi yang disahkan oleh Presiden untuk dilakukan, dengan syarat mayoritas ganda sebesar 90% dari jumlah pemilih dan suara dukungan. [ 2 ] Jika ambang batas tercapai, MPR dapat melanjutkan dan menyelesaikan proses amandemen.
Setelah Era Reformasi 1998 , rezim baru terbuka terhadap perubahan UUD 45. Peraturan yang mengharuskan pelaksanaan referendum untuk mengamandemen UUD 45 yang disahkan pada 1985 dicabut pada Maret 1999, hal tersebut menyederhanakan proses amandemen UUD 45. [ 3 ] Ketua MPR Amien Rais memimpin seluruh persidangan untuk mengamandemen UUD 45 pada periode 1999–2002. [ 4 ]
Amandemen
Amandemen pertama
Amandemen pertama UUD 45 disetujui oleh MPR yang bersidang pada 14–21 Oktober 1999. Pada amandemen pertama ini terdapat sembilan pasal yang diubah yaitu pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, and 21. [ 5 ]
Amandemen ini memasukan pembatasan masa jabatan lima tahun, dan dapat dipilih satu kali lagi untuk presiden dan wakil presiden serta dan juga memasukan memungkinkan presiden untuk dilantik hanya di hadapan pimpinan MPR dan hakim Mahkamah Agung dalam keadaan luar biasa. Amandemen juga membatasi kekuasaan eksekutif, dimana presiden membutuhkan persetujuan MPR atau Mahkamah Agung untuk beberapa keputusan seperti menunjuk duta besar atau memberikan amnesti. [ 6 ]
Amandemen mencabut kekuasaan presiden untuk membuat undang-undang, kekuasaan tersebut sekarang hanya berada di tangan legislatif, dimana presiden memiliki kekuatan hanya untuk mengusulkan undang-undang. [ 5 ]
Amandemen kedua
Amandemen kedua disahkan oleh MPR pada masa persidangan 7–18 Agustus 2000. Amandemen ini memodifikasi dan menambahkan sebanyak 21 pasal. [ 6 ] [ 7 ]
Amandemen ini mengakui status otononi daerah di Indonesia serta memperkenalkan pemilihan langsung untuk pemimpin daerah. Amandemen juga meredefinisi fungsi dari DPR dan memisahkan fungsi militer dan polisi . Amandemen kedua memperkenalkan Nusantara sebagai karakter teritorial Indonesia, pasal-pasal baru tentang hak asasi manusia , dan pengakuan status konstitusional terhadap lagu kebangsaan dan lambang negara. [ 7 ]
Amandemen ketiga
Amandemen kedua disahkan oleh MPR pada masa persidangan 10 November 2000. Amandemen ini memodifikasi 23 pasal dan menambahkan 3 bab. [ 6 ] [ 8 ]
Amandemen ini memberikan dasar konstitusi untuk pendirian Mahkamah Konstitusi dan menghilangkan pasal mengenai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR sebagai pedoman eksekutif. [ 9 ] [ 10 ]
Amandemen keempat
Amandemen keempat disahkan dalam sidang MPR pada tanggal 1–11 Agustus 2002. [ 11 ]
Amandemen keempat menghapus pasal-pasal mengenai Dewan Pertimbangan Agung .
Amandemen yang diusulkan
Usulan amandemen ke-5 sudah terdengar sejak perubahan terakhir disahkan pada 2002. dan usulan paling serius muncul pada 2019. Usulan perubahan berfokus pada pengembalian GBHN, memperkuat kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dan mengenai kursi kepresidenan. Pada 2021, usulan untuk menghidupkan kembali GBHN mendapatkan banyak dukungan, dengan banyaknya partai berkuasa menyatakan dukungannya untuk amandemen UUD 45.
Tanggapan publik terhadap usulan ini cenderung negatif, karena masyarakat merasa bahwa amandemen tersebut tidak mendesak ditengah pandemi COVID-19 di Indonesia, dimana seharusnya masalah lain yang lebih mendesak harus diutamakan. [ 12 ] Masyarakat juga menyatakan kekhawatiran mereka usulan amandemen juga bisa memodifikasi batasan masa jabatan presiden, karena pada saat itu masa jabatan Presiden Joko Widodo akan berakhir dimana ia tidak memenuhi syarat untuk dipilih lagi. Untuk melawan ketidaksetujuan masyarakat terhadap amandemen, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyakinkan publik bahwa amandemen hanya akan dilakukan untuk pemberlakukan kembali GBHN. [ 13 ]
Pemulihan pedoman kebijakan negara
Pada masa Orde Baru , GBHN ditetapkan oleh MPR RI dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pedoman pertumbuhan untuk jajaran eksekutif. GBHN dihapus oleh amandemen ke-3 pada tahun 2000 untuk menyempurnakan pemisahan kekuasaan sistem presidensial di Indonesia. [ 10 ]
Usulan paling awal untuk memperkenalkan kembali GBHN dibuat pada 2019, dan pada 2021 sebagian besar anggota dari partai pendukung pemerintah memerlukan pemulihan GBHN untuk menjamin rencana pembangunan jangka panjang, karena GBHN hanya ditetapkan oleh ketetapan MPR yang dianggap rentan terhadap pelanggaran oleh eksekutif. [ 14 ]
Pihak yang menolak restorasi GBHN berasalan bahwa GBHN tidak diperlukan, karena eksekutif dan legislatif berada diposisi setara, dan MPR tidak boleh memberikan mandat eksekutif seperti MPR memiliki kekuasaan terhadap presiden. Selain itu, mereka juga khawatir keberadaan GBHN akan membuat presiden tunduk kepada MPR RI seperti masa Orde Baru, hal tersebut akan membatalkan pemisahan kekuasaan yang telah dicapai pada masa reformasi 1998 dan amandemen konstitusi yang pernah dilakukan. [ 15 ] [ 16 ]
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) didirikan berdasarkan amandemen ketiga UUD 45 pada 2001 dengan mengangkat status kelompok perwakilan daerah di MPR RI sebagai anggota dari majelis tinggi parlemen. Kekuatan DPD lebih lemah dibandingkan dengan majelis tinggi di negara lain, tanggung jawab DPD hanya terkait dengan masalah kedaerahan, tanpa kekuatan untuk membuat undang-undang atau hak veto dibandingkan dengan DPR RI.
Di tengah wacana amandemen konstitusi pada tahun 2020, anggota DPD mendukung amandemen konstitusi untuk memperkuat kewenangan majelis tinggi, memungkinkan sistem dua kamar yang sempurna dan mekanisme checks and balances antara kedua majelis MPR RI. [ 17 ]
Kembali ke UUD 1945 yang asli
Di kalangan akademisi non-liberal dan mantan pejabat Orde Baru, terdapat keyakinan umum bahwa keempat amandemen UUD 1945 didasarkan pada liberalisme dan karenanya bertentangan dengan Pancasila , filsafat negara Indonesia. Oleh karena itu, mereka menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Pendukung pandangan tersebut termasuk , seorang profesor filsafat di Universitas Gadjah Mada ; Try Sutrisno , mantan Wakil Presiden Indonesia; dan Prabowo Subianto , seorang calon presiden untuk pemilihan umum 2014, 2019 dan 2024. [ 18 ] [ 18 ]
Referensi
- ^ People's Consultative Assembly (1 March 1983). "TAP MPR Nomor 1/MPR/1983" .
- ^ People's Consultative Assembly (18 March 1985). "Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985" (PDF) .
- ^ People's Consultative Assembly (23 March 1999). "Undang-undang Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985" . Hukumonline.com.
- ^ Bagus Prihantoro Nugroho (9 May 2018). "Perjalanan Amandemen UUD 1945 saat Amien Rais Jadi Ketua MPR" . Detik.com.
- ^ a b Iswara N. Raditya (14 October 2019). "Sejarah & Isi Perubahan Amandemen UUD 1945 Pertama Tahun 1999" . Tirto.id.
- ^ a b c Ari Welianto (6 February 2020). "Amandemen UUD 1945 Tujuan dan Perubahannya" . Kompas.com.
- ^ a b Iswara N. Raditya (14 October 2019). "Isi Perubahan Kedua & Sejarah Amandemen UUD 1945 Tahun 2000" . Tirto.id.
- ^ Iswara N. Raditya (14 October 2019). "Amandemen UUD 1945: Sejarah & Isi Perubahan Ketiga Tahun 2001" . Tirto.id.
- ^ . . 13 August 2015.
- ^ a b "Apa yang terjadi jika GBHN dihidupkan kembali?" . BBC News Indonesia . 16 August 2019.
- ^ Iswara N. Raditya (15 October 2019). "Amandemen UUD 1945 Tahun 2002: Sejarah Isi & Perubahan Keempat" . Tirto.id.
- ^ "Ramai-ramai Tolak Amendemen UUD 1945 dan Jokowi Tiga Periode" . CNN Indonesia . 4 September 2021.
- ^ Savitri, Putu Indah; Ihsan, Nabil (14 August 2021). "Constitutional amendment will not modify other articles: MPR Speaker" . . Diakses tanggal 8 September 2021 .
- ^ Imam B (18 August 2021). "Constitutional amendment hinges on political will: MPR Speaker" . . en.antaranews.com.
- ^ "NasDem Cemas Amendemen UUD Buat MPR Bisa Berhentikan Presiden" . CNN Indonesia . 1 September 2021.
- ^ Mawangi, Genta Tenri (11 September 2021). "Politisi dan akademisi anggota ILUNI UI tolak wacana amendemen UUD" . Antara .
- ^ Alamsyah, Ichsan E (8 September 2021). "Amendemen UUD 1945 Diharapkan Optimalkan DPD" . Republika .
- ^ a b Nugraha, Ignatius Yordan (6 June 2023). "Abusive Unconstitutional Constitutional Amendments: Indonesia, the Pancasila and the Spectre of Authoritarianism". Oxford Journal of Legal Studies . 43 (2): 379–404. doi : 10.1093/ojls/gqad002 .