Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Artikel

Mencari Makna di Balik Kata: Sebuah Resensi Puisi “Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta”

24
×

Mencari Makna di Balik Kata: Sebuah Resensi Puisi “Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta”

Share this article
Example 468x60

Berhadapan dengan buku puisi, saya selalu teringat pesan Arief Budiman dalam karyanya tentang Chairil Anwar: kedekatan pembaca dengan teks adalah kunci pemahaman. Bukan sekadar kedekatan dengan penyairnya, tetapi bagaimana teks itu hadir dan mengajak kita berinteraksi. Bagi saya, menilai puisi bukan soal baik-buruk atau indah-jelek, melainkan bagaimana kita, sebagai pembaca, dapat merasakan dan memahaminya.

Baru-baru ini, saya membaca buku puisi Jemi Batin Tikal, “Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta” (YTMBKMBtC). Sang penyair sendiri meminta saya untuk memberikan komentar atau apresiasi. Saya mengakui, kesibukan saya membuat janji itu sulit ditepati. Namun, sebagai teman—dan mengingat banyak bantuan yang telah Jemi berikan—saya mencoba semampu saya. Bahkan, buku ini saya beli dengan uang dari majalah yang kami kelola bersama, sebuah kisah kecil yang agak ironis sekaligus menggelikan.

Example 300x600

Konsep buku YTMBKMBtC menarik: tidak sekadar visual dan audial, tetapi juga ingin merangsang indra peraba dan penciuman. Penerbit, ilustrator, dan penyair berusaha menghadirkan pengalaman membaca yang multisensorik melalui pilihan kertas, desain buku, dan tipografi. Ambisius. Apakah berhasil? Saya ragu. Tekstur kertas terasa biasa, aromanya tak istimewa, dan desain sampul yang unik, bagi saya, malah menyulitkan untuk dibaca santai dengan satu tangan.

Namun, saya kemudian berpikir, mungkin inilah performansinya. Mungkin ketidaknyamanan itu disengaja, merupakan bagian dari pesan yang ingin disampaikan. Mungkin, buku ini ingin menggambarkan betapa janggalnya “healing” di dunia yang serba kapitalis, di mana garis antara kerja dan liburan menjadi kabur. Mungkin, ketidaknyamanan fisik itu merefleksikan ketidaknyamanan batin. Bisa jadi, tangan saya yang lebih terbiasa dengan gawai membuat saya kurang peka terhadap tekstur kertas, dan polusi udara telah memudarkan sensitivitas penciuman saya.

Saya lebih menikmati puisi-puisi yang sarat dengan sejarah dan mitos, baik lokal maupun global. Bahkan tanpa sepenuhnya memahami maknanya, saya masih bisa merasakan dan tergerak untuk menggali simbol-simbol yang ada di dalamnya. Sebaliknya, puisi tanpa konteks sejarah atau mitos sulit dinikmati. Namun, secara keseluruhan, struktur buku YTMBKMBtC membentuk sebuah perjalanan dari asal-usul hingga ke tempat yang asing dan janggal. Sejarah dan mitos menjadi pijakan, teman perjalanan, tetapi juga beban dan luka. Kisah Tan Malaka, Siti Fatimah, Tan Bun An, dan kampung halaman penyair menjadi titik-titik penting dalam perjalanan aku-lirik. Perjalanan yang diwarnai kesedihan, tetapi juga tekad untuk tetap bertahan. Dan, jika kita menghubungkan buku ini dengan karya-karya Jemi sebelumnya, tampak jelas bahwa aku-liriknya akan selalu bertemu dengan kesedihan, tetapi tidak pernah menyerah.

Sumber : https://ketiketik.com/apa-apa-yang-coba-dicari-ketika-membaca-sebuah-buku-puisi/

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *