Kemiskinan bukanlah sekadar kekurangan uang. Ia adalah jebakan sistemik yang menghancurkan kesejahteraan, menjebak individu dalam lingkaran setan yang sulit diputus. Bayangkan saldo rekening yang selalu minus, tapi itu baru sebagian kecil dari penderitaannya. Di Indonesia, pemangkasan anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial semakin memperburuk keadaan. Alih-alih mengatasi akar masalahnya, pemerintah justru seakan mengajarkan “ketahanan” yang keliru, tanpa menyediakan dukungan yang seharusnya didapatkan masyarakat.
Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan mental sudah lama diteliti dan terbukti kuat. Studi-studi di berbagai belahan dunia, seperti Studi Stirling County dan Midtown Manhattan Project, menunjukkan korelasi yang tak terbantahkan. Isolasi sosial, stres akibat kekurangan, dan ketidakpastian ekonomi memicu depresi dan masalah mental lainnya. Namun, solusi yang ditawarkan seringkali bersifat “pembalut luka” semata, seperti program pemberdayaan diri yang tak menyentuh akar masalah kemiskinan struktural. Ini ibarat memberikan pidato motivasi kepada orang berkaki patah, tanpa membawanya ke dokter untuk dirawat.
Hubungan ini bisa dilihat dari dua sisi: kausalitas dan pergeseran sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan kesehatan mental memburuk akibat stres, kelaparan, dan lingkungan yang tidak aman. Sebaliknya, masalah kesehatan mental juga dapat membuat seseorang terperangkap dalam kemiskinan karena kesulitan mendapatkan pekerjaan atau mempertahankan hubungan sosial. Keduanya saling memperkuat, membentuk siklus yang sulit dihentikan tanpa perubahan struktural.
Mengapa hubungan ini seringkali diabaikan? Karena kesehatan mental seringkali dianggap sebagai masalah pribadi, bukan masalah sistemik. Akibatnya, penyebab stres mental menjadi kabur, dan kebijakan yang ada hanya menangani gejalanya, bukan akar permasalahannya. Argumentasi yang menyatakan bahwa “kemiskinan konsumsi” tidak berhubungan langsung dengan kesehatan mental pun keliru. Ketidakamanan pangan, tempat tinggal yang tidak layak, dan stres finansial jelas berpengaruh besar pada kesehatan mental. Mengatakan sebaliknya sama saja dengan mengabaikan fakta nyata yang terjadi di lapangan.
Pemerintah seringkali menyalahkan individu, mengatakan mereka “perlu terapi atau obat,” alih-alih mengatasi kemiskinan itu sendiri. Model kesehatan mental di Indonesia pun seringkali meniru pendekatan biomedis Barat yang individualistik, mengutamakan diagnosis tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas. Ini seperti menggunakan peta New York untuk mencari jalan di Jakarta. Kita membutuhkan pendekatan yang holistik, yang mempertimbangkan kondisi ekonomi, budaya, dan ketidaksetaraan yang sudah mendarah daging di Indonesia. Undang-undang kesehatan mental yang ada pun masih lemah, lebih fokus pada aspek medis daripada solusi sistemik.
Kemiskinan adalah kekerasan struktural yang menyebabkan tekanan mental luar biasa. Kecemasan finansial, perjuangan untuk mendapatkan kebutuhan dasar, dan kelelahan akibat pekerjaan yang tidak menentu menciptakan siklus penderitaan yang tak berujung. Situasi ini diperparah oleh iklim politik yang membuat akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya semakin sulit. Tanpa perlindungan sosial yang memadai, masalah kesehatan fisik dan mental seringkali dianggap sebagai kelemahan pribadi, bukan sebagai konsekuensi dari sistem yang eksploitatif.
Kebijakan pemotongan anggaran di bawah pemerintahan sekarang ini hanya memperburuk keadaan bagi kelas pekerja dan komunitas marginal. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan hanyalah pertumbuhan bagi kaum kaya, sedangkan yang miskin semakin tertinggal. Ketimpangan ekonomi di Indonesia telah berlangsung lama, sejak zaman feodal hingga kini. Sistem yang eksploitatif ini harus dihentikan.
Pemerintah, dengan kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat, secara aktif memperkuat kemiskinan sebagai alat kontrol dan eksploitasi. Menyalahkan individu alih-alih memperbaiki sistem adalah bentuk penolakan tanggung jawab yang tidak bisa diterima. Perubahan nyata tidak akan datang hanya dengan seruan “yuk, bisa yuk”. Perubahan membutuhkan pemutusan siklus eksploitasi, perlindungan sosial yang kuat, dan pengakuan bahwa kemiskinan bukanlah takdir, tetapi pilihan sistem yang harus dilawan.
Sumber : https://ketiketik.com/apa-sih-hubungan-kemiskinan-dan-kesehatan-mental/