![]() |
Artikel ini
membutuhkan penyuntingan lebih lanjut mengenai tata bahasa, gaya penulisan, hubungan antarparagraf, nada penulisan, atau ejaan
.
|
![]() |
|
Jumlah populasi | |
---|---|
20.168 jiwa (tanpa tahun) | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
![]() |
|
Bahasa | |
Agama | |
|
|
Kelompok etnik terkait | |
|
Suku Agabag , yang juga dikenal sebagai Dayak Agabag secara suku-sakat, merupakan kelompok etnis yang banyak mendiami wilayah Kalimantan Utara, terutama di Kecamatan Sembakung, Sebuku, Lumbis, dan sebagian wilayah Kabupaten Bulungan.
Sejarah
Asal-Usul
Suku Agabag secara teritorial merupakan bagian dari kelompok suku Dayak di Kalimantan (Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Indonesia , 2010, hlm. 24). Berdasarkan garis keturunan genealogis, suku Dayak Agabag termasuk dalam rumpun Murut yang telah hidup secara turun-temurun sebagai penghuni Pulau Kalimantan bagian utara.
Suku Agabag merupakan suku asli dan tertua secara genealogis dan teritorial di wilayah utara Pulau Kalimantan. Mereka memiliki jejak kehidupan yang menetap secara turun-temurun di wilayah daratan, pegunungan, serta di sepanjang sungai besar maupun kecil, seperti Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Tulid, dan Sungai Tikung. Keberadaan mereka telah tercatat sejak zaman kuno, termasuk pada masa Tabug (Ngayau) sekitar tahun 1650–1933, masa penjajahan (1933–1944), hingga masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Keaslian dan ketuaan suku Dayak Agabag sebagai penghuni wilayah daratan, pegunungan, serta daerah aliran Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Tulid, dan Sungai Tikung, tampak nyata melalui jejak peradaban yang mereka tinggalkan. Mereka merupakan masyarakat pertama yang menemukan, memberi nama, dan mengenal berbagai unsur geografis dan hayati di wilayah tersebut, termasuk nama-nama sungai, gunung, pohon, tumbuhan, binatang, burung, dan ikan sungai.
Sejak zaman kuno, masa Tabug ( Ngayau ), masa penjajahan, hingga masa kemerdekaan, suku Dayak Agabag telah menciptakan dan mengembangkan peradaban yang mencakup ruang hidup, sistem hukum adat, pemahaman adat, kelembagaan adat, serta kebudayaan tradisional. Kebudayaan tersebut meliputi bahasa, kepercayaan, peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian tradisional, upacara adat, mata pencaharian, serta simbol dan lambang adat yang menjadi identitas mereka hingga kini.
Penuturan Sebutan Endonim oleh Suku Dayak Agabag terhadap Dirinya Sendiri
Berdasarkan penuturan turun-temurun dari para leluhur, suku Dayak Agabag menyebut dirinya dengan istilah Agabag sebagai suatu sebutan endonim , yakni penamaan dari dalam diri mereka sendiri. Sebutan ini mengandung makna pengakuan lahiriah yang bersifat genealogis, biologi, asli, dan tua, yang diwariskan oleh nenek moyang suku Dayak Agabag. Dalam konteks ini, Agabag tidak dimaknai sebagai kata kerja atau kata benda seperti "cawat" atau "bercawat", melainkan sebagai identitas kedirian yang merujuk pada entitas manusia, komunitas, atau suku. Oleh karena itu, istilah tersebut digunakan untuk menegaskan eksistensi dan asal-usul mereka sebagai manusia yang turun-temurun mendiami wilayah aliran Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Tikung, dan Sungai Tulid di bagian utara Pulau Kalimantan.
Walaupun secara umum suku Dayak dikenal memiliki ciri-ciri budaya seperti penggunaan cawat, sebutan Agabag tidak berhubungan langsung dengan ciri fisik atau pakaian tersebut. Sebaliknya, sebutan ini mengikat secara genealogis dan teritorial sebagai identitas suku Dayak asli Kalimantan. Dalam kehidupan masa lalu, khususnya pada masa Ngayau (sekitar tahun 1650–1933), leluhur Dayak Agabag menyebut diri mereka sebagai Ulun Agabag atau Ulun Gabag . Sebutan ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari di tengah hutan dan sepanjang sungai sebagai bentuk pengenalan dan penyatuan identitas komunal mereka, terutama dalam menghadapi ancaman dari musuh yang dikenal dengan sebutan Tabug atau penyerang Ngayau.
Pada masa tersebut, masyarakat Agabag hidup di wilayah pegunungan, menjauh dari sungai sebagai bentuk perlindungan dari serangan musuh (disebut Bungkal ). Setelah masa Ngayau berakhir, sekitar tahun 1933–1944, komunitas Dayak Agabag mulai kembali menetap di pinggiran sungai-sungai besar, seperti Sungai Sembakung, Tikung, dan Tulid. Mereka membangun organisasi berupa baloi abuat (rumah panjang), yang menjadi pusat kehidupan sosial mereka.
Pada masa yang sama, sekitar tahun 1933–1944, pemerintahan Hindia Belanda secara resmi mulai masuk ke wilayah tersebut dan menjalin kerja sama dengan Kesultanan Bulungan. Kehadiran pemerintah kolonial ini bersamaan dengan kehidupan masyarakat Dayak Agabag yang telah mulai menetap kembali di daerah sungai-sungai besar tersebut, setelah masa konflik Ngayau berakhir.
Sebutan Eksonim terhadap Suku Dayak Agabag pada Masa Lampau
Dalam perjalanan sejarahnya, suku Dayak Agabag pernah memperoleh sebutan dari pihak luar atau kelompok lain, yang dikenal dengan sebutan eksonim . Salah satu sebutan tersebut adalah "Tenggalan" , yang digunakan oleh kelompok luar untuk Merujuk kepada komunitas ulun Agabag (sebutan internal bagi masyarakat Dayak Agabag) pada masa lampau.
Berdasarkan penuturan secara turun-temurun dari para leluhur Dayak Agabag, istilah Tenggalan berasal dari bentuk fonetik yang menyerupai kata ketinggalan . Sebutan ini mencerminkan pandangan eksternal terhadap masyarakat Dayak Agabag sebagai kelompok yang dianggap “tertinggal” karena, pada masa itu, nenek moyang mereka belum mengenal kemampuan baca tulis dan belum menguasai bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka tidak memahami maksud dari sebutan tersebut hingga mereka mulai mengenal bahasa Indonesia di kemudian hari. Setelah menyadari arti kata tersebut, masyarakat Agabag merasa bahwa sebutan itu menegaskan martabat dan identitas mereka sebagai kelompok etnis yang memiliki kebudayaan dan peradaban tersendiri.
Selain Tenggalan , terdapat juga variasi penyebutan lainnya seperti Tengalan , Tinggalan , dan Tanggalan , yang semuanya mengandung makna serupa. Menurut keterangan para tetua masyarakat Agabag yang tinggal di sepanjang Sungai Sembakung, Sungai Tikung, dan Sungai Tulid, sebutan-sebutan tersebut pernah digunakan oleh pihak luar, termasuk oleh aparat pemerintah pada masa lalu. Hal ini menimbulkan penolakan dari masyarakat karena dianggap tidak menghargai identitas asli mereka.
Istilah Tenggalan diyakini pernah digunakan oleh berbagai pihak pada masa lampau, antara lain oleh pemerintah kolonial Belanda, Kesultanan Bulungan, masyarakat Tidung, serta kelompok etnis lain di Kalimantan Utara. Penggunaan istilah ini semakin terlihat sejak masa pembentukan desa-desa oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1971, setelah berakhirnya konfrontasi Indonesia–Malaysia. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan saat itu mulai membentuk organisasi di wilayah masyarakat tradisional Dayak Agabag, khususnya di seluruh aliran Sungai Sembakung, Sungai Tikung, dan Sungai Tulid.
Seiring perkembangan waktu, telah terjadi persebaran masyarakat Dayak Agabag ke luar wilayah asal mereka. Meski secara teritorial banyak yang telah berpindah dari wilayah Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Tikung, dan Sungai Tulid, ikatan genealogis dan budaya mereka tetap terpelihara. Masyarakat Dayak Agabag yang telah menetap di luar wilayah asal biasanya disebut dengan istilah lokal “ akalandis ” atau “ nakalandis ” , yang berarti anggota keluarga besar Dayak Agabag yang telah berpisah atau berpindah dari tanah leluhurnya. Lobong (jejak warisan tanah) dan laabangan (tapak sejarah leluhur) mereka yang berasal dari wilayah sungai-sungai tersebut.
Catatan Khusus: Keaslian dan Kekhasan Sebutan “Ulun Agabag” sebagai Identitas Endonim [ 1 ]
Menurut tuturan lisan yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur suku Dayak Agabag, sebutan “Agabag” , yang secara lengkap disebut sebagai “Ulun Agabag” , merupakan identitas asli, tua, dan sah (paten) yang berasal dari dalam diri masyarakat Dayak Agabag sendiri. Sebutan ini memiliki makna lahiriah, genealogis, biologi, dan teritorial yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan sejarah suku tersebut. Sebagai sebutan endonim , “Ulun Agabag” adalah penamaan yang muncul dari dalam komunitas itu sendiri dan diwariskan langsung oleh leluhur kepada generasi penerus sebagai bentuk pengakuan terhadap jati diri suku Dayak Agabag.
Oleh karena itu, sebutan “Ulun Agabag” tidak dapat disesatkan, diubah, ataupun diinterpretasikan secara sepihak oleh siapa pun, baik oleh individu dari suku Dayak Agabag sendiri maupun oleh pihak luar. Sebutan ini adalah bagian dari warisan tak ternilai yang diturunkan oleh para pendahulu dan ahli waris kultural, yang harus dihormati dan dijaga keasliannya.
Jika di kemudian hari terdapat upaya untuk menyimpangkan makna atau mengubah sebutan “Agabag” demi membentuk identitas atau nama suku baru di dalam tubuh genealogis, biologi, dan teritorial suku Dayak Agabag, maka tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap nilai-nilai adat. Dalam pandangan adat suku Dayak Agabag, hal semacam itu disebut “Ambial Bulu” . Istilah ini menggambarkan suatu kondisi ketidakharmonisan dalam keluarga besar yang hidup serumah—berbagi tempat tinggal, tidur di bawah satu atap, bangun bersama pada pagi hari—tetapi kemudian berjalan ke arah yang berbeda dengan tujuan yang berbeda.
Tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap tatanan adat dan berpotensi menimbulkan konflik internal dalam satu garisdalam satu garis keturunan, satu bahasa, satu keluarga, satu wilayah adat, satu hukum adat, satu peradilan adat, dan satu budaya. Oleh karena itu, penghormatan terhadap sebutan “Ulun Agabag” sebagai identitas tunggal dan sah merupakan bagian dari penghormatan terhadap leluhur dan sistem adat yang mengikat masyarakat Dayak Agabag hingga kini.
Katanaan (Kewilayahan) Adat Suku Dayak Agabag
Katanaan (istilah dalam bahasa suku Dayak Agabag) adalah penyebutan leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag terhadap wilayah adat, tanah adat yang diduduki, dikuasai, dikelola serta diwariskan turun temurun oleh leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Katanaan adalah wilayah adat, tanah adat yang diduduki, dikuasai, dikelola serta diwariskan turun temurun oleh leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag, menurut asal-usul geneologis (keturunan) dalam teritorial (wilayah) masyarakat hukum adat Dayak Agabag, di atas pulau Kalimantan bagian utara dalam wilayah sungai besar dan sungai kecil, berupa tanah ulayat, hutan adat, tanah adat, siang (sungai) dan segala isi diatas maupun dibawahnya, di wilayah sungai sembakung, sungai sebuku, sungai tulid, sungai tikung, sungai sadalid, sungai sumalumung, sungai sumanggaris dan sungai sabakis maupun sungai-sungai kecil dalam wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag.
Jejak penguasaan katanaan (tanah) yang diduduki, dikuasai, dikelola serta diwariskan turun temurun menurut asal-usul keturunan dan menurut pembagian wilayah adat oleh leluhur nenek moyangbmasyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa gimaan,siang, olot, gana, tangkub, luang, batu, dagal, lukot, butas, dalan, daalan, taalunon, kiiyum, baalayan, balayan, tuumuu, toon, baloi abuat, lobong, laabangan,balayan, taalun, umo Isi wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag dalam wilayah masyarakat hukum adat Dayak Agabag memiliki isi dan kandungan sebagai berikut : Katanaan (tanah), siang (sungai), sumber daya alam yang terkandung diatas maupun di dalamnya, masyarakat hukum adat Dayak Agabag, hukum adat, peradilan adat, kekuasaan adat (lembaga adat), budaya adat istiadat, dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak Agabag.
Hak masyarakat hukum adat Dayak Agabag terhadap katanaan (wilayah adat) terdiri dari : (1) hak untuk hidup dan meneruskan keturunan turun temurun dalam wilayah adat masyarakat hukum adat adat Dayak Agabag; dan (2) hak untuk memanfaatkan, menggunakan, mengelola dan menikmati seluruh isi dan kekayaan wilayah adat Dayak Agabag turun temurun secara bertanggung jawab dan berpedoman pada petunjuk adat leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag tentang batasan dan pembagian wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag, dan segala isi dan kekayaan yang terkandung diatas dan didalamnya. Masyarakat hukum adat Dayak Agabag berkewajiban terhadap wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag untuk menjaga, mempertahankan, memelihara, melindungi, melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan berdasarkan prinsip leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag yaitu prinsip keseimbangan, kebijaksanaan, kedamaian dan kekeluargaan. Bentuk katanaan (tanah) yang diduduki, dikuasai, diwariskan, dikelola, dimanfaatkan turun temurun menurut asal usuldan pembagian wilayah adat oleh leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa : (1) penguasaan katanaan (tanah) gi maan merupakan suatu lahan tanah yang diduduki, dikuasai, diwariskan, dikelola, dimanfaatkan turun temurun secara bersama sebagai hak milik bersama (komunal), menurut asal-usul ikatan keturunan (geneologis) dan menurut ikatan wilayah teritorial) adat, berdasarkan petunjuk adat leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa tanah ulayat, tanah adat, hutan adat,siang, olot, luang, tangkub, gana, dagal, lokot, butas, dalan, dalaan, taalunon, kiiyum, baalayan, balayan, tuumuu, toon dan atau seluruh isi yang terkadung diatas dan di bawahnya (2) penguasaan katanaan (tanah) T aalun merupakan tanah yang diduduki, dikuasai, dikelola, dibuka, dan dimanfaatkan berupa tanah taalun led (lama) dan tanah taalun bagu (baru) secara perorangan maupun bersama oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabagmenurut ikatan keturunan dan ikatan wilayah adat berdasarkan petunjuk adat leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag. (3) penguasaan katanaan (tanah) w arisan ( inapungan, tinatangan ) merupakan tanah gimaan maupun tanah taalun yang diduduki, dikuasai, dikelola, dan dimanfaatkan berupa gimaan maupun tanah taalun led (lama) dan tanah taalun bagu (baru) secara perorangan maupun secara bersama oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag melalui warisan dari keturunannya, keluarganya, atau warisan dari akion (kakek-neneknya), orang tuanya, saudaranya.
Dasar pembagian penguasaan katanaan (tanah) yang yang diduduki, dikuasai, diwariskan, dikelola, dimanfaatkan turun temurun oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag adalah : (1) dasar penguasaan tanah Gimaan sebagai hak milik bersama (komunal) adalahberdasarkanikatan asal-usul keturunan (geneologis), dan menurut pembagian wilayah adat besar dan wilayah adat desa (pagun) dan menurut pemberian secara adat (tinaakan), berdasarkan petunjuk adat leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag. (2) dasar penguasaan penguasaan tanah Taalun yang dikuasai secara perorangan maupun bersama oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang dimiliki dan diperoleh melalui amagima (membuka lahan), agumo (berladang) dari lahan tanah gimaan menurut ikatan asal-usul keturunan (geneologis) dan menurut pembagian wilayah adat besar dan wilayah adat desa (pagun). (3) dasar penguasaan tanah warisan yang dikuasai secara perorangan maupun bersama oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag, yang dimiliki melalui warisan dari keturunannya, keluarganya, atau warisan dari kakek-neneknya, orang tuanya, saudaranya.
Fungsi katanaan (tanah) masyarakat hukum adat Dayak Agabag secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag adalah (1) Intok ayag (tempat hidup turun temurun); (2) Intok akiluang, angingkium (tempat berburu); (3) Intok pangalapan da toon, tuumuu-tuumuu, uwoi, salong, salangan, baatu, (tempat meramu); (4) Intok agumo (tempat bercocok tanam, berladang, berkebun, bertani).
Nama sungai besar maupun sungai kecil yang mengalirkan muaranya di sungai besar seperti sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Tikung dalam wilayah adat suku Dayak Agabag yaitu : Sungai sembakung, sebuku, tulid, tikung, sumalumung, sedalid, sumentobol, tujung, agison, sabuluan, andugud, sapakung, mambulu, kalampising, sasungai, lumuton, sadulian, samunti, sigalan, ubol, sodongon, sedalit, alung bulu, sulok bulu, tadungus, sungoi, samalat, senalad, saludan, sanal, sadalom, taluan, sabatu, sumalaku, intin, soombol, susuii, tibalu, sibuda, tibulu, simakatul, susungoi, kasungai, sakikilan, kalunsayan, sabudol, apan, tapiul, siang kayap, tabur, samaja, sumanggaris, siang golong, kaminsau, kapiasau, kapakuan, bantul, naputi malasu, samutuon, kakayap, salungan, kunyit, tataban, simatuda, bunusan, maladi, sojau, ngangalung, sabatu, lugu, tuminak, muukuon, kapalasi, nyadukudamis, bolun, manyulung, nakinuan, alas, tumulud, tuwod.
Nama kayu (toon) dalam katanaan (tanah, hutan) di wilayah suku Dayak Agabag terdiri dari : Tagas magangai, tagas litis, upil, kuyung, tigalangan, jomolon, tumpalak, langawan, malapi, seet, lantid, sas, kawang, galawas, tikalod, malinas, binuang, Palaju, pamutodon, bayul, ondop, togop, palig, tameelik, mangagis, siilow, galu buayo, galu kopoyo, galu cabut, galu nibung, gangas, sadaman, paluon, puutul, paluan, kulit, balabak, bitawol, julampet, palipikan, talimakas, polod, labungan, buyud, tontobokon, bangawong, padungin, taali, pampalang, ingkaluluung, tibangu, talisoi, ulos, sadipon tuow, panapuson, bulu, paling, badan, impungu, teelan, gampusu, karuing, batung, gita, adau, bangkirai, lingod, lunuk, palumpung, lumbio, lampaki, sumbiling.
Menurut kewilayahan suku Dayak Agabag hidup, menghuni turun temurun di wilayah adat suku Dayak Agabag, yang terletak di sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai, Tikung, sungai Tulid, sungai Sumanggaris. Wilayah adat besar suku Dayak Agabag yaitu : wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung, wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis, wilayah adat besar Dayak Agabag Sebuku, wilayah adat besar Lumbis Ogong, wilayah adat besar Dayak Agabag Tulin Onsoi, wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung Atulai, wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis Pansiangan.
Wilayah adat desa suku Dayak Agabag yaitu : (1) wilayah adat besar Dayak Agabag sembakung, terdiri dari beberapa desa adat yaitu desa Manuk Bungkul, desa Tujung, desa Pagar, desa Labuk, desa Butas Bagu. (2) Wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis, terdiri dari beberapa desa adat yaitu Desa Kalampising, Desa Sedongon, Desa Nensid, Desa Sasibu, Desa Tanjung Hilir, Desa Tanjung Hulu (Lasuon Tonodon), Desa Sumalumung, Desa Saludan, Desa Siawang, Desa Samalat, Desa Dabulon, Desa Bulan-Bulan, Desa Sapuyan, Desa Tubus, Desa Liang, Desa Likos, Desa Lintong, Desa Patal I, Desa Patal II, Desa Taluan, Desa Pulu Bulawan, Desa Podong. (3) Wilayah adat besar Dayak Agabag Sebuku, terdiri dari beberapa desa adat yaitu Desa Kunyit, Desa Kekayap, Desa Apas, Desa Bebanas, Desa Lulu, Desa Tetaban, Desa Melasu Baru, Desa Sujau. (4) Wilayah adat besar Lumbis Ogong terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Payang, Desa Suyadon, Desa Bulu Mongolom, Desa Tukulon, Desa Batung, Desa Ubol Alung, Desa Ubol Sulok, Desa Nansapan, Desa Sedalit, Desa Tadungus, Desa Sinampila I, Desa Sinampila II, Desa Jukup, Desa Kalambuku, Desa Tambalang Hilir, Desa Long Bulu, Desa Paluan, Desa Samunti, Desa Salan, Desa Samata, Desa Sungoi, Desa Limpakon, Desa Linsayung, Desa Tumantalas, Desa Labuk. (5) Wilayah adat besar Dayak Agabag Tulin Onsoi terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Sekikilan, Desa Kalunsayan, Desa Balatikon, Desa Naputi, Desa Salang, Desa Semunad, Desa Tau Baru, Desa Tambalang, Desa Tinampak I, Desa Tinampak II. (6) Wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung Atulai, terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Saduman, Desa Pagaluyon, Desa Mambulu, Desa Tulang, Desa Sebuluan, Desa Katul, Desa Lubok Buat, Desa Pulau Keras, Desa Binanun, Desa Liuk Bulu. (7) Wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis Pansiangan terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Labang, Desa Sumentobol, Desa Nantukidan, Desa Ngawol, Desa Sumantipal, Desa Lagas, Desa Bulu Laun Hilir.
Hukum Adat Suku Dayak Agabag (Ukum Akasala)
Menurut Sukardi dalam bukunya "Sistem Hukum Indonesia", bahwa hukum adat diartikan sebagai keseluruhan kaidah atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi.
Dalam buku berjudul Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat dan Islam) karya Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun, hukum adat mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas Airlangga menjelaskan soal apa itu hukum adat. Hukum adat adalah sistem yang telah lama berlaku di Indonesia. Menurut Mohammad Koesnoe, tidak diketahui pasti awal mula hukum adat berlaku di tanah air. Namun jika dibandingkan dengan hukum Barat dan hukum Islam, hukum adat adalah yang tertua secara usianya. Sebelum 1927, hukum adat telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Setelah 1927, hukum adat dipelajari dan diperhatikan dengan seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah teori resepsi dikukuhkan dalam pasal 134 ayat 2.I.S. 1925.
Menurut penuturan turun temurun leluhur nenek moyang suku Dayak Agabag Selaku petutur, pewaris, bahwa suku Dayak Agabag sebagai masyarakat hukum adat memiliki hukum adat sebagai warisan leluhur nenek moyang Dayak Agabag yaitu disebut dengan istilah "Ukum Akasala". Akasala merupakan suatu tindakan atau perilaku salah atau tidak benar, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang menimbulkan kejadian perselisihan dan tuntutan dalam hubungan kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Ukum Adat Akasala dalam masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan ketentuan adat Dayak Agabag yang mengatur tindakan dan perilaku masyarakat hukum adat Dayak Agabag dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana di bukukan, di inventarisir dalam dokumen keputusan adat Dayak Agabag tentang hukum adat Dayak Agabag.
Unsur Terjadinya Akasala yaitu a danya unsur tindakan kejadian perkara adat, danya unsur perselisihan oleh pihak berperkara adat, danya unsur tuntutan oleh pihak berperkara adat, danya unsur alat bukti dan saksi oleh pihak berperkara adat. Sifat dan tujuan ukum akasala yaitu m engatur dan menjaga keseimbangan, kebijaksanaan, kekeluargaan, kedamaian, dalam kehidupan masyarakat adat Dayak Agabag.
Bentuk-Bentuk Akasala yaitu Agangit adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian pertengkaran dalam bentuk kata-kata antara dua orang atau lebih yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Binuukan adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian pemukulan baik itu perorangan atau lebih, dengan menggunakan alat benda yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Basintuk adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian perkelahian memukul dengan menggunakan organ tubuh manusia baik itu perorangan atau lebih, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Aguyai adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa ungkapan atau ucapan yang dikeluarkan dalam mulut oleh sesorang atau lebih dalam bentuk kata-kata dan kalimat yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Inatoi adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian meninggal atau matinya seseorang dalam keadaan tidak wajar yang menimbulkan peselisihan dan tuntutan. Nalubakan adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian tabrak di jalan raya dengan menggunakan kenderaan transportasi darat yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Nakalom adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian perahu karam di sungai dengan menggunakan kenderaan transportasi sungai yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Antakau adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian mencuri yang dilakukan oleh seseorang atau lebih terhadap hak milik orang lain, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Nalosod adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian tenggelam dalam air seseorang atau lebih yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Nadatu adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian memanjatnya seseorang pada sesuatu lalu mengakibatkan jatuhnya seseorang yang memanjat tersebut yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Nabajil adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian tertembaknya seseorang dengan menggunakan peralatan adat berupa senjata api, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Napalid adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian tersesatnya seseorang ditengah hutan, yang kemudian menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Natuda adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian terkena tombak atau bujak oleh dan atau pada seseorang dengan menggunakan peralatan adat berupa alat tombak atau bujak, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Napidis adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian terkena parang oleh dan atau pada seseorang dengan menggunakan peralatan adat berupa parang, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Nasapuk adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian terkena sumpit oleh dan atau pada seseorang dengan menggunakan peralatan adat berupa senjata api, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Angancam adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian mengancam atau nakut nakuti oleh seseorang dalam bentuk kata-kata atau pun benda, yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan. Agakal adalah suatu tindakan pelanggaran hukum adat Dayak Agabag, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa kejadian menipu atau membohongi seseorang sehingga mengakibatkan kerugian bagi seseorang korban yang menimbulkan perselisihan dan tuntutan.
Penyelesaian Ukum Akasala yaitu penyelesaian ukum akasala dalam masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan suatu cara atau pedoman adat hukum Dayak Agabag, dalam menyelesaikan suatu tindakan kejadian perkara adat (akasala) dan menimbulkan perselisihan dan tuntutan oleh pihak yang berperkara, dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Penyelesaian ukum akasala dalam masyarakat hukum adat Dayak Agabag diselesaikan melalui putusan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag berdasarkan tata cara penyelesaian peradilan adat Dayak Agabag.
Denda Adat Ukum Akasala yaitu denda adat ukum akasala dalam masyarakat hukum adat Dayak Agabag berpedoman pada ketentuan adat yang diwariskan leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun atau putusan-putusan adat yang lebih dahulu. Penentuan denda adat akasala disesuaikan dengan besar-kecilnya dan atau berat-ringannya tindakan pelanggaran akasala yang terjadi, berdasarkan putusan peradilan adat masyarakat hukum adat dayak Agabag, berupa denda Antaak dan Ambasa. Denda adat ukum akasala dalam masyarakat hukum adat Dayak Agabag adalah dalam bentuk baluk atau balanai, sapi, bolok, manuk, bungkas, agung, piinggan mangkulau, dan keen.
Kekuasaan Adat Suku Dayak Agabag
Suku Dayak Agabag memiliki kekuasaan adat berupa kelembagaan adat yakni (1) Dewan Adat Dayak Agabag; (2) Lembaga Adat Besar Dayak Agabag yaitu lembaga adat besar Dayak Agabag Sembakung, lembaga adat besar Dayak Agabag Lumbis lembaga adat besar Dayak Agabag Sebuku, lembaga adat besar Lumbis Ogong, lembaga adat besar Dayak Agabag Tulin Onsoi, lembaga adat besar Dayak Agabag Sembakung Atulai, lembaga adat besar Dayak Agabag Lumbis Pansiangan; (3) Lembaga Adat Desa terdiri dari 87 (delapan puluh tujuh) yaitu (1) Wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung, terdiri dari beberapa lembaga adat desa yaitu Desa Manuk Bungkul, Desa Tujung, Desa Pagar, Desa Labuk, Desa Butas Bagu; (2) Wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis, terdiri dari beberapa desa adat yaitu Desa Kalampising, Desa Sedongon, Desa Nensid, Desa Sasibu, Desa Tanjung Hilir, Desa Tanjung Hulu (Lasuon Tonodon), Desa Sumalumung, Desa Saludan, Desa Siawang, Desa Samalat, Desa Dabulon, Desa Bulan-Bulan, Desa Sapuyan, Desa Tubus, Desa Liang, Desa Likos, Desa Lintong, Desa Patal I, Desa Patal II, Desa Taluan, Desa Pulu Bulawan, Desa Podong; (3) Wilayah adat besar Dayak Agabag Sebuku, terdiri dari beberapa desa adat yaitu Desa Kunyit, Desa Kekayap, Desa Apas, Desa Bebanas, Desa Lulu, Desa Tetaban, Desa Melasu Baru, Desa Sujau; (4) Wilayah adat besar Lumbis Ogong terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Payang, Desa Suyadon, Desa Bulu Mongolom, Desa Tukulon, Desa Batung, Desa Ubol Alung, Desa Ubol Sulok, Desa Nansapan, Desa Sedalit, Desa Tadungus, Desa Sinampila I, Desa Sinampila II, Desa Jukup, Desa Kalambuku, Desa Tambalang Hilir, Desa Long Bulu, Desa Paluan, Desa Samunti, Desa Salan, Desa Samata, Desa Sungoi, Desa Limpakon, Desa Linsayung, Desa Tumantalas, Desa Labuk; (5) Wilayah adat besar Dayak Agabag Tulin Onsoi terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Sekikilan, Desa Kalunsayan, Desa Balatikon, Desa Naputi, Desa Salang, Desa Semunad, Desa Tau Baru, Desa Tambalang, Desa Tinampak I, Desa Tinampak II; (6) Wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung Atulai, terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Saduman, Desa Pagaluyon, Desa Mambulu, Desa Tulang, Desa Sebuluan, Desa Katul, Desa Lubok Buat, Desa Pulau Keras, Desa Binanun, Desa Liuk Bulu; 7) Wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis Pansiangan terdiri dari beberapa desa adat yaitu : Desa Labang, Desa Sumentobol, Desa Nantukidan, Desa Ngawol, Desa Sumantipal, Desa Lagas, Desa Bulu Laun Hilir.
Peradilan Adat Suku Dayak Agabag
Peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag adalah suatu lembaga peradilan adat dalam menyelesaikan perkara-perkara adat yang diadukan masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Sifat dan tujuan peradilan adat yaitu mengatur dan menjaga keseimbangan, kebijaksanaan, kekeluargaan, kedamaian, dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun. Fungsi peradilan adat yaitu (1) memutuskan perkara adat yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun menurut hukum adat Dayak Agabag; (2) mendamaikan antara pihak-pihak yang berselisih atau berperkara adat dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag.
Tingkatan peradilan adat yaitu (1) peradilan adat tingkat desa; (2) peradilan adat tingkat wilayah adat besar. (3) peradilan adat dolop. lingkup perkara adat yaitu (1) perkara adat dalam lingkup desa; (2) perkara adat dalam lingkup antar desa (pagun) dalam satu wilayah adat besar; (3) perkara adat dalam lingkup antar desa (pagun) dalam dua wilayah adat besar; (4) perkara adat dalam lingkup antar wilayah adat besar. Pembagian urusan berdasarkan lingkup perkara aat yaitu (1) perkara dalam lingkup desa menjadi urusan lembaga adat desa yang bersangkutan; (2) perkara dalam lingkup antar desa dalam satu wilayah adat besar menjadi urusan lembaga adat besar wilayah yang bersangkutan; (3) perkara dalam lingkup antar desa dalam dua wilayah adat besar menjadi urusan gabungan lembaga adat besar wilayah se-wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (4) perkara dalam lingkup antar wilayah adat besar menjadi urusan gabungan lembaga adat besar se-wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag dan dibantu dewan adat Dayak Agabag. Perkara adat yang diadukan palam peradilan adat yaitu : (1) sengketa tanah masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (2) sengketa paganduan (perkawinan) masyarakat hukum adat; (3) sengketa akasala (perselisihan) masyarakat hukum adat; (4) sengketa sengketa hak waris masyarakat hukum adat. Penegak peradilan adat yaitu : (1) lembaga adat desa dalam wilayah masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (2) lembaga adat besar wilayah dalam wilayah masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Hak penegak peradilan adat yaitu : (1) memeriksa pihak-pihak berperkara adat: (2) melaksanakan gelar perkara peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (3) memutuskan perkara adat dalam gelar perkara sidang adat; (4) melimpahkan urusan perkara adat berdasarkan tingkatan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (5) melimpahkan urusan perkara adat kepada pihak kepolisian sebagai penegak hukum nasional yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; (6) mendapatkan perlindungan keamanan jiwa dari masyarakat hukum adat Dayak Agabag maupun perlindungan keamanan jiwa dari kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban penegak peradilan adat yaitu (1) melaksanakan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (2) menjaga keseimbangan, kebijaksanaan, kekeluargaan, dan kedamaian masyarakat adat Dayak Agabag melalui putusan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag; (3) menindaklanjuti aduan perkara adat yang diajukan atau dimohon masyarakat hukum adat Dayak Agabag. Pihak berperkara adat dalam peradilan adat yaitu (1) pihak penuntut adalah pihak yang mengajukan aduan perkara adat menurut hukum adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag dengan syarat pihak penuntut berketurunan masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang mengalami perselisihan dengan masyarakat hukum adat Dayak Agabag maupun berselisih dengan masyarakat umum dalam wilayah adat Dayak Agabag; (2) pihak tertuntut adalah pihak yang dituntut berdasarkan aduan perkara adat oleh pihak penuntut dengan syarat pihak tertuntut berketurunan masyarakat hukum adat Dayak Agabag, dan pihak tertuntut boleh ditujukan kepada masyarakat umum yang berada dalam wilayah adat Dayak Agabag.
Bentuk penyelesaian perkara adat yaitu (1) penyelesaian ansoosot (kekeluargaan) merupakan bentuk peanyelesaian perkara adat secara tertutup berdasarkan musyawarah dan mufakat secara kekeluargaan antara kedua pihak yang berperkara adat; (2) penyelesaian abaawukum (sidang adat) merupakan bentuk penyelesaian perkara adat secara terbuka melalui gelar perkara sidang adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat desa dan lembaga adat besar wilayah, berpedoman pada ketentuan adat Dayak Agabag tentang hukum adat perselisihan; (3) penyelesaian dolop merupakan penyelesaian perkara adat untuk menyatakan dan mendapat pembuktian kebenaran perkara adat yang diadukan melalui ritual adat dayak Agabag dengan cara menyelam dalam air di sungai. Putusan peradilan adat yaitu (1) putusan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan putusan adat terhadap perkara adat yang diselesaikan melalui peradilan adat Dayak Agabag; (2) putusan peradilan adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag berupa : (a) putusan ansoosot (kekeluargaan); (b) putusan sidang adat; (c) putusan ritual adat dolop.
Budaya Adat Istiadat Suku Dayak Agabag
Budaya masyarakat hukum adat Dayak Agabag adalah suatu hasil karya yang tercipta atau diciptakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag sejak leluhur nenek moyang hidup turun temurun di wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid sebagai harta benda adat dan kekayaan adat, baik itu berupa gagasan, tindakan, dan karya yang sifatnya berupa material dan nonmaterial, untuk menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Dayak Agabag.
Sistem Kepercayaan
Sistem Kepercayaan masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun yang diwariskan oleh leluhur nenek moyang Dayak Agabag yang dipercayai dalam kehidupan sehari-hari adalah Maangun, limbai, dolop, sampuy, babas, uwok, kapio, inupi, tanungan, anyamba, angkulaput, antuka, asimbutan, agulid, olasan, amol, antutub da luba, ambial bulu, antotok da asu, antugi, amputul da batu, antotok da bakag, ambadit da daa, antanu, ampatod, andakung, piangin (cara apadasam da odow), liiyaa (pangalapos da timug), aasab.
Bahasa
Bahasa masyarakat adat Dayak Agabag dalam kehidupan sehari-hari, yang diwariskan turun temurun leluhur nenek moyang Dayak Agabag adalah “Dagu Bonsoi” (Dagu Agabag).
Sistem Perlengkapan dan Peralatan



Sistem Perlengkapan dan Peralatan masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan perlengkapan dan peralatan adat hasil karya yang diciptakan oleh leluhur nenek moyang Dayak Agabag dan diwariskan turun temurun, yang digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Dayak Agabag untuk bisa bertahan hidup dan meneruskan keturunannya yang terdiri dari : (a) Tempat tinggal sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag terdari tangkub, baloi abuat, baaloy, luubung, puudang, baloi. (b) Pakaian sehari-hari yang digunakan masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari pakaian abag untuk laki-laki yang terbuat dari bahan kulit kayu puutul dan taapi untuk perempuan yang terbuat dari bahan kulit kayu puutul. (c) Perlengkapan dan peralatan api (apuy) dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari tiikan (todok, upikan, tanus, salong dan silad, tunanan, polod). (d) Perlengkapan dan peralatan dapur rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari piinggan kupak labungan, piinggan tampulung, sanduk tampulung, kudiit, bango, timug nu soopon ( sebagai garam), aun palumpung, buuulu, julang, lingka, odoon, saalan, saaku, uyuup, tutuan, tutu, kikil (duy nu lasun, umoy), toogong, pisakan, tikalung, liaban, siuub, toon, liitan, bikal, bayung, kalong, bikut, langod nu tambah, bangkat, laanam, tikung, binulang, buuduy, booton, ganggan, saaladan, kaalu, taatakan, baalit, buuyung, gaagawong. (e) Bahan dan perlengkapan makanan dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag terdiri dari natok nu paluon, natok nu lumbio, natok nu ilui, natok nu polod, bilod. (f) Perlengkapan dan peralatan pembuatan ilui Natokdalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari kikil (duy nu uwoy, duy nu sogo), julang (sasanggan), piisakan, toogong, kiikilan. (g) Peralatan dan perlengkapan transportasi dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari padau bapaku, padau abuat, padau batutung, kabil, tukul, saseed, padau bakumbal ( di ikat dengan rotan), padau Saluuk (dari kulit kayu tipulu), lanting. (h) Perlengkapan dan peralatan senjata tradisional dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag terdiri dari tumbok, sapuk, tuuda, gayang, kalitabay, pudung, pees, luudim (paayis), tiimok, utik, bisau, udang (bambu bulu di runcung dan di tancak di tanah), mantis, tampan, palig. (i) Perlengkapan dan peralatan berburu dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari tuuda, sapuk, bikut, bisau, tangang (suluk dan jalo), ban,tung, sulakop/antoob, sinun, kulung, suil, sondou, sadik, siilong, bubuu, paanaa, jaling, tampasik, tambalung, ampong, boolot, tuuna, asuh, babeed, tulung. (j) Perlengkapan dan peralatan meramu dan bercocok tanam dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun terdiri dari lamook, kuuyut, utik, tampan, suusul, luuukut, asook , baasi, kungkud, sisit, malantik.
Kesenian Tradisional
Kesenian Tradisional masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan hasil karya cipta yang dilahirkan, diciptakan dan diwariskan oleh lelehur nenek moyang Dayak Agabag turun temurun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang terdiri dari : Seni rupa terdiri dari Seni seni ukir (ukil) terdiri dari ukil makou. Dan seni anyaman (baatug) terdiri dari baatug tiningolun, sinumandak, pinungu, tinuntuayan, tinudungon ni leng, tinambuyanan, agigimpong, ginalagadi, sinangau, inunjau, nampilikan, tinanduk buayo, inawot, linuang mondou, pinandulug, tinapuk, binondolon, kikiing, liniliku, inibab, nantabakan, bintang film . Seni suara terdiri dari kukuy, liiyog, angkatid, gikumalid, kabulung, andui – andui, agatun, kakabung, ampakis, kulintangan, laangik, kulingut . Seni Tari terdiri dari tarian gong, tarian kukuy . Dan jenis pukulan gong (tuntung) terdiri dari tuntung panawan (laki dan perempuan), tingug salawak (Laki-laki), tingug ansuali (laki-laki matuwo), tingug lumaag (limbai danu), tingug bobokon (untuk orang meninggal) . Pakaian Kesenian Adat yakni model pakaian adat laki-laki yaitu model pakaian adat puutul merupakan model dan motif pakaian adat laki-laki yang terbuat dari bahan kulit kayu puutul. dan model pakaian adat keen (kain) merupakan model dan motif pakaian adat laki-laki yang terbuat dari bahan kain dengan warna dasar hitam, merah, kuning dan putih. Bahan kelengkapan pakaian adat laki-laki terdiri dari abag puutul, abag keen atadong, gayang, kalitabai, kalid, puutul, bulet, kalawang, silad, tumbok, sapuk, taangap, tiimok, inalong (atadong), sulou (apulak), inting-inting, jangkol (muumuk apulak, alagang, atadong, asilou), goolong (muumuk apulak, alagang, atadong, asilou), sisingal keen alagang, sulampoi keen alagang .' Model pakaian adat perempuan yaitu model pakaian adat puutul merupakan model dan motif pakaian adat perempuan yang terbuat dari bahan kulit kayu puutul. Model pakaian adat keen (kain) merupakan model dan motif pakaian adat perempuan yang terbuat dari bahan kain dengan warna dasar hitam, merah, kuning dan putih. Bahan kelengkapan pakaian adat perempuan terdiri dari babadu puutul, babadu keen (atadong), taapi putul, taapi kinalingan, bungkas, kamagi, suukai, sulud, bulu nu sangang, inting-inting, jangkol (muumuk apulak, alagang, atadong, asilou), sulou (apulak), kuala, malia, udik, galunsung, goolong amas, siimbal, inabit, babayang /likod, muumuk (apulak, alagang, atadong, asilou), kaling, laway apulak .
Tradisi Upacara Ritual Adat
Tradisi upacara ritual adat adalah upacara ritual adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan upacara adat yang diwariskan leluhur nenek moyang Dayak Agabag turun temurun dan masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari tradisi upacara adat antabug , tradisi upacara adat ilau , tradisi upacara adat bangkayan , tradisi upacara adat paganduan , tradisi upacara adat limbai , tradisi upacara adat agumo , tradisi upacara adat anyambah , tradisi upacara adat aguok , tradisi upacara adat baamol .
Sistem Mata Pencaharian
Mata Pencaharian yaitu dalam kehidupan leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat Dayak Agabag trun temurun di sepanjang wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid, untuk mempertahankan hidup masyarakat hukum adat Dayak Agabag dalam kehidupan sehari-hari dengan mata pencaharian yakni berburu, meramu dan bercocok tanam yang terdiri dari ula, kuyung, salong, tunanan, kawang, angalasad, uwoi, tumalun, angingkium, antinge, tontobokon, anyual, akiluang, angusa, amajalo, amukot, antu, agumo, amagima, aminangol, bakabun .
Simbol, Warna dan Benda Adat
Simbol dan Warna Adat yaitu simbol dan lambang adat Dayak Agabag merupakan ciri khas menggambarkan ikatan dan hubungan kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang melekat turun temurun sebagai warisan leluhur nenek moyang Dayak Agabag,yang terdiri dari baloi abuat (rumah panjang), padau (perahu), sapuk (sumpit), tombok (bujak), gayang (mandau), baluk (tempayan), sangang (enggang) . Warna adat Dayak Agabag merupakan suatu ciri khas warna yang diwariskan leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat Dayak Agabag turun temurun, dalam kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agaba, yang terdiri dari apulak (putih) melambangkan kesucian, dan kebijaksanaan; atadong (hitam) melambangkan ikatan dengan alam semesta; alagang (merah) melambangkan keberanian dalam keidupan bersama; asilou (kuning) kedamaian, kekeluargaan. Benda pampulutan (benda yang digunakan dalam purut perkawinan suku Dayak Agabag yaitu sampa ogong, balayung, manila, lugiabay alagang, agung supuon mayok, agung supuon lumot, pampalang malid, sanigon dalaa, solong, salaminon, boodot, sinalapa, busak lawai, agung asilou, luumadut, sapung, sibuda, tajau alagang, talipuk mayo, pinupuok amas, talipuk lumot, tajau, binalayungan, baalau . Benda pusaka suku Dayak Agabag yaitu bangkalan, kibabon, tiluan, sinalang, tabukawa, mampipil, tinanduk buayo, binukul, manila, inalal, mangkasulon, mandapak, lukang, kinitalan, sinalapa, gadul, salapa
Suku Dayak Agabag Sebagai Warga Negara Indonesia
Menurut sensus penduduk Indonesia tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik dalam buku "Kewarganegaraan, suku bangsa, agama, dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia", (halaman : 24) bahwa suku Dayak Agabag di kelompok ke dalam bagian suku Dayak di Kalimantan.
Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag Dalam Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor : 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat , memberikan penegasan yang bersifat tetap dan mengikat dalam produk hukum daerah bahwa keberadaan masyarakat hukum adat Dayak Agabag diakui dalam ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan, dengan substansi materi pengakuan tentang keberadaan dan kedudukan masyarakat hukum adat, wilayah adat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam BAB VII, pasal 16 ayat (3) huruf (b) kesatuan masyarakat hukum adat Dayak Agabag.
Berdasarkan rujukan Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor : 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, keberadaan (eksistensi) masyarakat hukum adat dalam pengakuan konstitusi Negara Indonesia yang mengakui masyarakat hukum adat, wilayah adat, hak-hak masyarakat hukum adat, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur dalam rujukan konstitusi berkaitan dengan pengakuan, penghormatan dan perlindungan keberadaan masyarakat hukum adat dalam ketentuan undang-undang dasar (UUD) 1945 Pasal 18B ayat (2) menyatakan pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Pengakuan Negara atas keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia dengan ketentuan: a) sepanjang masih hidup; b) sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan c) diatur dalam undang-undang. Sepadan dengan ketentuan ini, pasal 28 I ayat (3) menegaskan penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Terkait dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengenai hak menguasai negara atas sumber daya alam, maka Pasal 4 ayat (j) menegaskan kembali pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara atas tanah dan sumber daya alam dapat dikuasakan kepada daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan- ketentuan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya Pasal 3 menentukan bahwa dalam pelaksanaan hak ulayat tersebut harus dengan memperhatikan bahwa keberadaan hak ulayat tersebut masih ada menurut kenyataannya, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarka persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations on Convention Biological Diversity , (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menganai Keanekaragaman Hayati) dalam Pasal 8 ayat (j) berisi ketentuan bahwa negara harus menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 6 menyatakan perlindngan atas identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat selaras dengan perkembangan zaman. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PPU-X/2012, tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas perubahan frasa Pasal 1 angka (6) yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, menegaskan kembali keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, termasuk hak atas hutan adat yang ada diwilayah adatnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic Social and Polical Rights , (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dalam Pasal 15 ayat (1) negara harus mengakui hak setiap orang a) untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; b) menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya; dan c) memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya. Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (2) diatur langkah-langkah yang harus diambil oleh negara untuk mencapai perwujudan hak tersebut di pasal 15 ayat (1) harus meliputi langkah-langkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pengesahan International Covenant on Sipil Social and Cultural Rights , (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dalam hal mengatur ruang dalam rangka menjamin keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1) Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, dalam Pasal 1 angka (33) menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Pasal 21 menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat. Pemanfaatan ruang tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 22 menentukan bahwa bagi masyarakat hukum adat tidak diperlukan izin atas wilayahnya, melainkan diperlukan pengakuan dalam bentuk penetapan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 angka (31) memberikan definisi mengenai masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang diatur dalam pasal 63 ayat (1) huruf t, ayat (2) huruf n, dan ayat (3) huruf k menjadi tugas dan kewenangan dari pemerintah pusat,pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Repuplik Indonesia Tahun 2010 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1 angka 43 menegaskan kembali mengenai desa dan desa adat sebagai Desa kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan status tanah ulayat dan penetapan keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan perlindungan terhadap budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dalam Pasal 1 ayat (1) Masyarakat hukum adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis dan Pasal 12 memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat dengan menyatakan bahwa dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha perkebunan harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Selanjutnya Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (2) memberikan larangan kepada dan setiap orang dan pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha perkebunan di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat. Bahkan kepada mereka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 6 menyebutkan bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat yang penyebutan desa adat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku didaerah setempat. Ini berarti masyarakat hukum adat yang berada di desa adat boleh menggunakan nama kesatuan wilayah adat sebagai nama desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa. maka berdasarkan rujukan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut keberadaan masyarakat hukum adat Dayak Agabag dan desa adat telah diakui dan diikat secara hirarkis dalam ketentuan konstitusi republik Indonesia.
Suku Dayak Agabag Dalam Administrasi Pemerintahan
Secara administrasi pemerintahan pada saat ini sebaran penduduk Dayak Agabag berada di kecamatan Sembakung, kecamatan Lumbis, kecamatan Sebuku, kecamatan Lumbis Ogong, kecamatan Tulin Onsoi, kecamatan Sembakung Atulai, kecamatan Lumbis Pansiangan di kabupaten Nunukan, provinsi Kalimantan Utara.
Populasi Penduduk Suku Dayak Agabag
Populasi penduduk suku Dayak Agabag di 7 (tujuh) wilayah adat besar Dayak Agabag di sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid berjumlah 20.168 jiwa dengan rincian : Penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung berjumlah 1.370 jiwa, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis, berjumlah 4.333 jiwa, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Sebuku berjumlah jiwa 3.890, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Lumbis Ogong berjumlah 3.079 jiwa, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Tulin Onsoi berjumlah 3.285 jiwa, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Sembakung Atulai berjumlah 2.771 jiwa, penduduk suku Dayak Agabag di wilayah adat besar Dayak Agabag Lumbis Pansiangan, berjumlah 1.440 jiwa.
Penelitian Tentang Sebutan Endonim dan Eksonim Bagi Suku Dayak Agabag
Dalam penelitian yang dilakukan oleh G.N Appell dari Brandeis University dengan Judul "Ethnic Groups In The Northeast Region Of Indonesian Borneo and Their Social Organszation" yang dimuat dalam “Jurnal” Borneo Research Bulletin, dimana dalam catatan dari editor bahwa sebelum Boreno Research Bulletin diterbitkan atau diumumkan diselenggarakan pertemuan oleh Dewan Penelitian Borneo untuk memaparkan hasil penelitian mereka terhadap Borneo selama bertahun-tahun di dalam forum para antropog di Amerika yang disebut American Anthropological Association, sebagaimana kutifan berikut ini :
“ Meetings organized by the Borneo Research Council during the recent Annual Meeting of the American Anthropological Association were unusually productive. The papers presented in the session on "Recent Research in Borneo" were of high quality and were well received”.
Pada pertemuan tersebut disampaikan sesuatu produktif temuan luar biasa.Makalah disajikan dalam sesi penemuan terbaru dalam Penelitian di Borneo sangat berkualitas tinggi dan diterima dengan baik oleh Dewan American Anthropological Association. Selanjutnya dikatakan bahwa :
“ At the Council's business meeting, held later the same day, several interesting and important proposals were approved for circulation to other fellows and subscribers. We are sincerely grateful to the following persons for their contributions to the work of the Council: J. B. Ave, Stanley Bedlington, D. E. Brown, Michael Dove, Richard Allen Drake and Doris Drake, Wayne T. Frank, Mary Beth Fulcher, Philip Goldman, Sin Fong Han, John L. Landgraf, Virginia Matheson, Peter Metcalf, Rodney Needham, Robert Nicholl, Roger D. Peranio, Ifor B. Powell, Raymond Rudes, William M. Schneider, Richard Shutler, Jr., John 0. Sutter, Joseph A. Weinstock, Herbert L. Whittier, and Patricia R. Whittier ”
(Beberapa proposal yang menarik dan penting disetujui untuk diedarkan untuk orang lain dan pelanggan, selain para penelitih hadir dalam Dewan Penelitian Borneo American Anthropological Association yang telah banyak berkontribusi yaitu J. B. ve, Stanley Bedlington, D. E. Brown, Michael Dove, Richard Allen Drake dan Doris Drake, Wayne T. Frank, Mary Beth Fulcher, Philip Goldman, Sin Fong Han, John L. Landgraf, Virginia Matheson, Peter Metcalf, Rodney Needham, Robert Nicholl, Roger D. Peranio, Ifor B. Powell, Raymond Rudes, William M. Schneider, Richard Shutler, Jr., John 0. Sutter, Joseph A. Weinstock, Herbert L. Whittier, dan Patricia R. Whittier). G.N Appell dari Brandeis University Amerika Serikat yang telah lama melakukan penelitian di Borneo dalam hasil peneltiannya secara antropologi yang dipublikasikan oleh Dewan Penelitian Borneo-American Anthropological Association melalui Borneo Research Bulletin bahwa G.N Appell melakukan penelitian di Sungai Tulid dan Tikung Sebuku ia mengemukan sebagai berikut :
“ Peoples Of The Sebuku River Basin, The Agabag-Tinggalan At the present time the main section of the Sebuku River up to Pembeliangan is occupied by Tidung people. At Pembeliangan the river divides into two branches, the Tulid and the Tikung. In these branches of the Sebuku River are found speakers of Idahan Murut isoglots (Appell 1968). We surveyed the Tulid branch. The Idahan Murut (people) in this region traditionally call themselves Agabag, which is derived from the lexeme for "loincloth." An exonym for these speakers and perhaps related speakers has been t h e t e r m "Tinggalan". I have suggested that it might be productive for the ethnic terminology of Borneo to use a binominial system with the first term being the autonym, and italicized, while the second term would indicate the general linguistic family to which the group belongs, and would therefore be an exonym (Appell 1968)....However, we should he cautious in this since the term "Agabag" may in fact be an earlier exonym which has been subsumed by these peoples. I should also make clear that it was extraordinarily difficult to interview on the ethnic terminology of the region, Previously the exonym "Tinggalan" ...
Penjelasan : (Orang-Orang sungai Sebuku, Agabag-Tinggalan Saat ini meupakan penduduk utama sungai Sebuku dan Tulid, Pembeliangan ditempati oleh orang-orang Tidung. Di Pembeliangan, sungai terbagi menjadi dua cabang, Tulid dan Tikung. Dalam cabang-cabang Sungai Sebuku ini ditemukan penutur logat Idahan Murut (Appell 1968). Orang-orang Idahan Murut di wilayah ini secara tradisional menyebut diri mereka Agabag, yang berasal dari leksem untuk "cawat." Tetapi mereka sering mendapat panggilan (orang luar) "Tinggalan”. Saya telah menyarankan bahwa mungkin lebih produktif (tepat) bagi terminologi etnik Kalimantan untuk menggunakan sistem binominial dengan istilah pertama adalah autonim (pangakuan diri sendiri bukan penamaan dari luar) dan dicetak miring, sedangkan istilah kedua akan menunjukkan keluarga linguistik umum (rumpun) tempat kelompok itu berada, dan karena itu akan menjadi panggilan exonim (Appell 1968)...lebih lanjut GN. Appell mengatakan bahwa “namun kita harus berhati-hati dalam hal ini (menggunakan panggilan Tinggalan untuk memanggil mereka) karena istilah "Agabag" sebenarnya merupakan nama (asli) yang telah dimasukkan/diwariskan oleh orang-orang terdahulu atau orang-orang yang sangat penting terdahulu (leluhur) mereka, saya juga harus menjelaskan bahwa sangat sulit untuk mewawancarai tentang terminologi etnis di wilayah ini dengan menggunakan panggilan Tinggalan” (interprestasi: dapat diartikan bahwa dengan menggunakan terminologi sebutan lain selain Agabag G.N Appel kesulitan karena mendapat reaksi keras dari masyarakat mungkin juga dimarah karena menggunakan panggilan yang dari orang lain), demikian catatan G.N Appel dari Brendis University Amerika Serikat.
Dari pendapat diatas jelas bahwa nama asli yang diturunkan atau diwaris oleh leluhur yang mendiami Sungai Sembakung, Sungai Sebuku dan Sungai Tulid dan Seimanggaris adalah Agabag, para leluhur Dayak Agabag yang menjadi narasumber dan yang ditemui G.N Appell pada saat itu telah menolak dipanggil dengan sebutan nama pemberian orang luar dari kesimpulan G.N Appell bahwa Agabag adalah nama Asli yang diturunkan atau diwariskan oleh para leluhur Dayak Agabag “ However, we should he cautious in this since the term "Agabag" may in fact be an earlier exonym which has been subsumed by these peoples” hal ini tentunya sesuai dengan “titah” yang berkisah tentang masuknya Sabina terhadap Islam dalam perjalanan kisah Pangeran Jamalul dan Pangeran Anum pada tahun 1915-1918.
Kajian Sebutan Endonim dan Eksonim Bagi Suku Dayak Agabag Di Masa Lampau
Berdasarkan catatan ekspedisi Kapitein Fischer penjajah (Belanda) mulai masuk di wilayah Dayak Agabag (sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid, sungai Sumaggaris dan sungai Sedalid) pada akhir abad ke 18, dimana dalam catatan ekspedisi tersebut, para penjajah kebingungan terhadap penamaan identitas terhadap suku-suku di wilayah tersebut, karena sulitnya orang Dayak Agabag di wilayah ini diajak komunikasi karena persoalan bahasa sehingga Belanda menggunakan “terminologi” panggilan eksonim yang mereka dapatkan dari kesultana Bulungan dan panggilan suku Tidung yang sudah berperadaban Islam sebagai panduan utama dengan panggilan “tenggalan, tengalan, tinggalan, tanggalan”.
Berdasarkan catatan ekpedisi Kapitein Fischer Penjajah (Belanda) mulai masuk diwilayah Dayak Agabag (Sungai Sembakung, Sungai Tikung, Sungai Tulid, Sungai Seiamggaris dan Sungai Sedalid) pada akhir abad ke 18, dimana dalam catatan tersebut para penjajah kebingungan terhadap penamaan identitas terhadap suku-suku diwilayah tersebut karena sulitnya dayak pada wilayah ini diajak komunikasi karena persoalan bahasa sehingga Belanda menggunakan “terminologi” panggilan eksonim yang mereka dapatkan dari kesultana Bulungan dan panggilan Suku Tidung yang sudah berperadaban Islam sebagai panduan utama dengan panggilan “tenggalan, tengalan, tinggalan, tanggalan”.
Awal munculnya panggilan eksonim untuk merujuk pada komunitas Agabag pada masa itu bermula dari sebutan yang diberikan oleh kesultanan Bulungan kepada Belanda yang kemudian menjadi panduan utama (Onze hoofdgids,de) oleh Belanda dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Kapitein Fischer, yang kemudian panggilan eksonim tersebut menuai penolakan oleh beberapa tokoh Agabag Labang pada masa itu. Belanda dan kesultanan Bulungan pada saat itu telah bekerja sama, dimana Belanda dan kesultanan Bulungan menganggap wilayah suku dayak Agabag di sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai Seimanggaris merupakan wilayah kekuasaan Belanda dan kesultanan Bulungan, maka pada masa itu Belanda dan kesultanan melakukan pendekatan kepada suku dayak Agabag dengan tujuan memungut upeti dari hasil-hasil alam seperti damar, rotan dan hasil alam lainnya. Pada masa itu suku dayak Agabag hanya bisa berbahasa Agabag sulit melakukan komunikasi dengan pihak Belanda karena tidak ada yang pernah sekolah, sehingga dengan bantuan kesultanan Bulungan dan Tidung pihak Belanda bisa berkomunikasi dengan orang-orang suku dayak Agabag. Karena komunikasi antara Belanda dan orang-orang suku dayak Agabag sulit dilakukan sehingga Belanda menyebutkan suku dayak Agabag dengan suku ketinggalan atau suku tertinggal dalam bahasa melayu. Sehingga pada masa itu penyebutan masyarakat yang sangat ketinggalan menjadi terminologi yang sangat akrab ditelinga para penjajah pada saat itu, selain itu penggunaan eksonim terhadap komunitas lama menjadi tren pada pasa itu mengingat kesultanan Bulungan adalah berperadabaan islam pemberian eksonim terhadap Dayak Agabag bertujuan “memutus hubungan Dayak Agabag dengan alam” demi kelacaran misi masuknya syiar Islam pada masa itu, dalam dokumen of Sebuku tercatat sesungguhnya pihak Kesultanan Bulungan mengetahui persis nama identitas komunitas suku yang mendiami Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Tikung dan Sungai Tulid, dalam catatan yang bertulisan arab tersebut dengan setingan latar waktu pada tahun 1915-1918, berikut kutipannya.
“ Bermula kisah Sabina masuk Islam. Setelah dia sudah akur Dayak-Dayak di ulu sungai-sungai tiada lagi berbunuh-bunuhnya, sudah turun di pinggir Sungai Sebuku. Maka datanglah pikiran hendak masuk Islam karena janjinya. Kemudian Dayak menghadap kepada Pengeran Jemalul dan Pengeran Anum. Katanya: “Aku masuk agama Islam dengan perizinku. Islam tiada siap menikahkan diku.” Maka kata Pengeran Jemalul: Jemalul menyahut kamu dahulu sama saudara kamu Bungkangan dan saudara kamu Si Kumbung saudaranya prempuan, sekalian orang tua-tua kamu. Kami ini takut disala.” Kata Sabinanya: “Aku sudah memberitahu kepadanya.” Kemudian Pengeran Anum datang menghiburkan kepada Bungkangan. Katanya: “Kesukaannya. Menyuruh tida, melarang tida.” Kemudian pula Pengeran Anum datang Si Kumbung saudara prempuan. Maka katanya: “Tiada aku mahu Sabina masuk Islam hingga kamu mengasih aku satu budak gantinya, karena bersarailah aku satu makanan.” Kemudian Pengeran Anum menghiburkan kepada Sabina. Maka kata Sabina: “Akuni saja permintaan itu, nanti aku ambil budak sahaya (maaf demi etika dan menghormati perjajian damai Tumbang Anoi dan Perdamaian Batu Pengasaan Penulis atas inisiatif sendiri tidak menyebutkan asal Budak yang dimaksud, yang sebenarnya dalam teks asli disebutkan). Bukan kamu mengasih, aku mengasih kepada Si Kumbung.” Kemudian maka diambil Pengeran Jemalul Sabina di rumahnya, maka berpayaslah di rumahnya seperti payasan orang kahwin. Kemudian dipanggil segala Dayak-Dayak di ulu Sungai Tikung dan Dayak-Dayak di ulu Tulid serta membawa makanan dan membawa minumannya pengasih. Demikian juga orang kampong memukul agungnya dan kulintangannya meramaikan Sabinanya dikhawinkan 20: dengan isterinya serta aturan adat Islam. Maka diangkat digelarkan Sabina itu Pengeran Muda, dan saudaranya Bungkangan digelar Pengeran Tua. Kemudian berdiri seorang tua serta kata-kata: “Tengah majlis orang banyak ketahui sekalian kamu orang Gabag di sungai Tikung dan orang di Sungainya Tulid dengar kamu sudah diangkat raja, kamu digelar Pengeran Muda.” (P:10: 1-24 dan P11:1-25).
Dari kutipan diatas sangat jelas sekali bahwa “titah” yang dibacakan ditujukan kepada masyarakat Dayak Agabag Sebuku dan Tulid (Tulin) perhatikan kalimat berikut!“ Tengah majlis orang banyak ketahui sekalian kamu Orang Gabag (Gabag adalah logat Bulungan dan Tidung untuk menyebut Agabag) di Sungai Tikung dan orang di Sungainya Tulid ”, didalam dokumen tersebut tertulis “Gabag” karena tulisan tersebut ditulis dalam gaya bahasa Bulungan pada masa itu yang tentunya dimaksud adalah Agabag yang berada di sungai tikung dan sungai tulid sebagai ojek dari pada “titah” tersebut, selain soal komunitas yang menjadi objek dari “titah” tersebut yang ditulis juga adalah soal berpindahnya beberapa orang Agabag menjadi Islama hingga mereka meni-tinggalkan dalam bahasa aslinya berserai (bercerai) salah satu makanan mereka dan tentunya dalam interpestasi penulis makan yang yang ditinggalkan itu adalah makanan “babi’, sehingga kemudian tidak menjadi aneh ketika muncul panggilan khusus pada masa itu terhadap masyarakat Dayak Agabag yang sudah menganut Islam dengan Tinggalan kemudian karena Kesultanan Bulungan dan Tidung di pesisir sudah duluan berperadaban Islam maka panggilan eksonim ini lebih suka mereka gunakan untuk menyebut identitas komunitas disungai Sembakung, Sebuku dan Tulid daripada menggunakan terminologi Agabag karena tentunya masih dianggap orang hutan, orang yang masih belum meninggalkan makanan babi, oleh karena itu tidak perlu heran ketika melihat orang Dayak Agabag berdialog dan dengan saudaranya berperadaban Islam, dimana yang satunya akan meyebut dia Agabag tetapi yang lainnya menyebut dia Tinggalan karena sesungguhnya teman dialognya yang berperadaban Islam menghendari ia menyebut kata Agabag karena sama halnya dia menghendari menyebut kata babi untuk mereka ucapkan dan yang penting juga untuk diketahui bahwa antara Dayak Agabag dan Tidung yang sudah berperadaban Islam adalah satu linguistik dengan kata lain bisa saling mengerti bahasa sehari-hari maka untuk membendakan mana yang masih belum menggalkan makanannya dan yang sudah maka digunakanlah terminologi exsonyim yang kemudian ada yang berpandangan bahwa hal tersebut erat kaitannya “misi pantai”. Sama juga hal nya orang-orang Dayak Agabag dulu menyebut Tidung dengan panggilan Sakai yang artinya orang yang sudah pendek rambut atau yang sudah bersisir belah samping yang masa itu masyarakat Dayak Agabag orang yang telah bersisir dengan “basakai” (orang yang telah bersisir), tentunya hal ini masyarakat Dayak Agabag membandingkan dengan rambut mereka yang pasih panjang yang diguling lalu ditusuk dengan konde yang mereka sebut “timok atau timbok” dan rambut bagian depan hanya berponi.
Referensi
- ^ Satria Satria; Viktorius Siga; Bernardus Subang Hayong; Laurensius Anselmus Wae Woda (2024-12-11). "Telaah Metafisik Ritual Dolop Dalam Masyarakat Dayak Agabag" . WISSEN : Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora . 3 (1): 129– 141. doi : 10.62383/wissen.v3i1.502 . ISSN 3032-2413 .
- Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 . Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175 .
- Dokumen Keputusan adat Dayak Agabag yang diwariskan, diturunkan, dituturkan leluhur nenek moyang Dayak Agabag tentang wilayah adat, asal-usul masyarakat hukum adat, hukum adat, peradilan adat, kekuasaan adat, kebudayaan adat istiadat Dayak Agabag. Yang diinventarisir, dibukukan dalam bentuk buku I dan buku II, melalui musyawarah adat Dayak Agabag di Intin wilayah adat besar Lumbis. Tanggal 3-8 April 2018.
- Dokumen Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
- Dokumen PBB (PDF).2006. Diarsipkan 2007-12-03 di Wayback Machine. yang membahas istilah Eksonim.
- ^ "Dayak (suku)". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021. Dayak merupakan suku bangsa yang mendiami daerah Kalimantan.