
90–100
80–89
70–79
60–69
50–59
40–49
|
30–39
20–29
10–19
0–9
Tidak ada data
|
Korupsi di Bhutan dianggap relatif rendah dan menjadi negara paling bersih dari korupsi di kawasan Asia Selatan . Bhutan menempati peringkat ke-18 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 versi Transparency International , di mana negara peringkat pertama dianggap memiliki sektor publik yang paling bersih. Skor Bhutan pada tahun 2024 adalah 72, dalam skala dari 0 ("sangat korup") hingga 100 ("sangat bersih"), menunjukkan peningkatan dibandingkan skor sebelumnya yaitu 68, yang bertahan dari tahun 2018 hingga 2023. [ 1 ] [ 2 ] Sebagai perbandingan di kawasan Asia Pasifik , skor terbaik adalah 84, skor rata-rata 44, dan skor terburuk 16. [ 3 ] Sementara secara global, skor tertinggi adalah 90 (peringkat 1), skor rata-rata 43, dan skor terendah 8 (peringkat 180). [ 2 ] Meski begitu, insiden korupsi dalam jumlah kecil tetap ada, dan pemerintah telah memberlakukan berbagai reformasi serta inisiatif untuk mengatasinya.
Latar belakang
Terdapat budaya pelayanan publik di Bhutan, di mana para pegawai negeri mengutamakan pengabdian kepada negara dan raja . Komitmen terhadap tugas sejauh ini telah mencegah munculnya budaya korupsi di kerajaan tersebut. Hal ini terlihat dengan terbentuknya Komisi Pelayanan Sipil Kerajaan (RCSC), yang mengawasi perekrutan pegawai pemerintah. Komisi ini dibentuk melalui keterkaitan antara tiga entitas utama: raja, komisi, dan undang-undang pelayanan sipil. [ 4 ] Ketiganya menciptakan sistem pelayanan sipil berbasis meritokrasi dengan seperangkat aturan dan regulasi yang jelas untuk rekrutmen serta pengembangan sumber daya manusia.
RCSC juga memiliki mandat untuk mempertahankan dan menerapkan kebijakan umum yang dirancang untuk mendorong efisiensi, loyalitas, integritas, dan tingkat moral yang tinggi di antara para pegawai negeri. Sistem pelayanan sipil yang efisien ini dijalankan berdasarkan konsep raja tentang birokrasi sebagai “pemerintahan yang kecil, efisien, dan efektif; yang bersih dan bebas korupsi; dengan anggota yang digaji layak, diperhatikan dengan baik, dan berdisiplin”. [ 4 ]
Mekanisme antikorupsi di Bhutan mencakup Komisi Antikorupsi (ACC), yang merupakan lembaga utama kerajaan dalam mencegah dan menangani kasus korupsi. ACC, yang dibentuk melalui Undang-Undang Antikorupsi Bhutan 2011, bertugas menuntut kasus korupsi serta mempromosikan integritas dan akuntabilitas. Lembaga ini juga memiliki wewenang untuk menjalankan langkah-langkah pencegahan dan inisiatif edukatif guna meningkatkan kesadaran tentang korupsi. ACC memiliki sistem pengaduan dan manajemen sendiri serta mengadopsi konvensi-konvensi relevan seperti Peraturan Debarment 2023. [ 5 ]
Lembaga ini memegang peran sentral dalam tujuan jangka panjang Bhutan untuk pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Peta Jalan Strategis Antikorupsi 2021–2030. [ 6 ] Peta jalan ini memiliki kerangka kerja operasional berupa Strategi Integritas Nasional dan Antikorupsi (NIACS). [ 7 ]
Rekam jejak antikorupsi Bhutan telah memperoleh pengakuan. Misalnya, banyak aspek dari skema kriminalisasi penyuapan di negara ini telah memenuhi standar internasional. [ 8 ]
Isu korupsi
Tantangan utama dalam pemberantasan korupsi di Bhutan mencakup praktik nepotisme dalam pelayanan sipil serta korupsi dan pelanggaran etika di bidang pengadaan publik dan transaksi keuangan. Nepotisme dalam pelayanan sipil dikaitkan dengan hubungan patron-klien yang masih bertahan dalam aspek formal politik negara. Salah satu kritik menyatakan bahwa anggota keluarga kerajaan merupakan pemilik tanah terbesar di Bhutan dan memiliki kepentingan pengendali di sejumlah perusahaan, yang memungkinkan monarki menggunakan kekayaan untuk memengaruhi dinamika politik. [ 9 ]
Sebuah studi oleh Komisi Antikorupsi Bhutan (ACC) juga menemukan bahwa masyarakat Bhutan tidak memiliki penolakan kuat terhadap korupsi. Ada toleransi terhadap suap dan nepotisme di kalangan pejabat pemerintah, yang dikaitkan dengan budaya hormat tanpa pertanyaan terhadap atasan serta keyakinan Buddhis yang mengajarkan bahwa setiap individu akan menuai karmanya sendiri. Aspek budaya ini memengaruhi rendahnya pelaporan kasus karena adanya pemahaman bahwa “tidak ada manusia yang tanpa kesalahan”. Ajaran Buddha juga tidak memiliki konsep kuat tentang balas dendam atau hukuman. Faktor-faktor ini sedang diatasi melalui upaya pemerintah dalam meningkatkan kesadaran publik tentang praktik korupsi. [ 10 ]
Menurut data ACC, terdapat 435 kasus korupsi pada periode 2021–2022, dengan rata-rata 36 kasus per bulan. [ 11 ] Kasus-kasus ini mencakup penggelapan, penyuapan, dan klaim palsu. Sebagian kasus melibatkan penyelidikan dan penuntutan terhadap Mini Dry Port Phuentsholing, yang dituduh melakukan penyuapan dan aktivitas ilegal lainnya terkait impor barang-barang esensial. Kasus ini melibatkan pejabat publik serta individu dan entitas swasta. Pemerintah menunjukkan efisiensi tinggi dalam penuntutan kasus, dengan tingkat vonis bersalah sebesar 88,62 persen. Pada tahun fiskal sebelumnya (2020–2021), rata-rata kasus yang dilaporkan hanya 25 per bulan. [ 12 ]
Peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan diklaim sebagai hasil dari meningkatnya kesadaran, kepercayaan, dan keyakinan masyarakat terhadap inisiatif antikorupsi pemerintah. Selama periode 2022–2023, tercatat 342 kasus korupsi dengan tingkat vonis bersalah sebesar 75 persen. [ 13 ]
ACC juga telah beralih dari penyelidikan berbasis pengaduan ke penyelidikan berbasis riset dan intelijen, yang memungkinkan penentuan prioritas strategis terhadap kasus-kasus korupsi dengan risiko dan dampak tinggi. [ 6 ]
Referensi
- ^ "The ABCs of the CPI: How the Corruption Perceptions Index is calculated" . Transparency.org (dalam bahasa Inggris). 11 February 2025 . Diakses tanggal 2 March 2025 .
- ^ a b "Corruption Perceptions Index 2024: Bhutan" . Transparency.org (dalam bahasa Inggris) . Diakses tanggal 2 March 2025 .
- ^ Mohamed, Ilham; Haihuie, Yuambari; Ulziikhuu, Urantsetseg (11 February 2025). "CPI 2024 for Asia Pacific: Leaders failing to stop corruption amid an escalating climate crisis" . Transparency.org (dalam bahasa Inggris) . Diakses tanggal 2 March 2025 .
- ^ a b Jamil, Ishtiaq; Dhakal, Tek Nath; Paudel, Narendra Raj (2018). Civil Service Management and Administrative Systems in South Asia. Springer. ISBN 978-3-319-90191-6 . p. 31
- ^ ACC. (2024). "Anti-Corruption Commission of Bhutan – If you care, You will dare!". August 2, 2024. Retrieved August 7, 2024
- ^ a b Deki, Sonam. (n.d.). Bhutan’s battle against corruption, ACC’s strategies to forge an ethical society.” Bhutan Today. http://www.bhutantoday.bt/bhutans-battle-against-corruption-accs-strategies-to-forge-an-ethical-society/
- ^ ACC. (2024). “Prevention Programs”. ACC. https://www.acc.org.bt/prevention-programs/ Diarsipkan 2024-09-13 di Wayback Machine ..
- ^ OECD (2011). ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific The Criminalisation of Bribery in Asia and the Pacific. OECD Publishing. ISBN 978-92-64-09744-5 . p. 126
- ^ Rizal, Dhurba (2015). The Royal Semi-Authoritarian Democracy of Bhutan. Lexington Books. ISBN 978-1-4985-0748-6 . p. 229
- ^ Avieson, Bunty (1 April 2015). The Dragon's Voice: How Modern Media Found Bhutan. University of Queensland Press. ISBN 978-0-7022-5357-7 . p. 155
- ^ ACC. (2023). Annual Report 2021-2022. ACC. https://www.acc.org.bt/wp-content/uploads/2023/06/AR-2021-2022_eng.pdf Diarsipkan 2024-09-13 di Wayback Machine .
- ^ Pem, Damchoe. (2022). "435 corruption related cases reported in the FY 21-22". The Bhutanese. https://thebhutanese.bt/435-corruption-related-cases-reported-in-the-fy-21-22/ .
- ^ ACC. (2024). “2022-2023 at a glance”. ACC. https://www.acc.org.bt/ Diarsipkan 2024-09-13 di Wayback Machine .