Kerapan Sapi Brujul adalah tradisi budaya khas masyarakat agraris di Kota Probolinggo , Jawa Timur , yang menyerupai dari Madura , namun memiliki karakteristik berbeda karena dilangsungkan di lahan persawahan yang berlumpur dan tergenang air.
Asal-usul
Tradisi ini berakar dari kebiasaan para petani yang membajak sawah menggunakan sepasang sapi sebelum masa tanam padi. Sawah terlebih dahulu digenangi air, kemudian dibajak secara tradisional. [ 1 ]
Untuk menghilangkan kejenuhan dan mempererat kebersamaan, para petani mulai mengadakan lomba balapan sapi di lahan sawah berlumpur tersebut. Aktivitas ini lambat laun berkembang menjadi sebuah perlombaan yang dikenal sebagai Kerapan Sapi Brujul, dan rutin diselenggarakan menjelang musim tanam padi sebagai bentuk hiburan sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Pada awalnya, tradisi ini bersifat non-kompetitif dan tidak melibatkan hadiah, karena esensinya adalah kesenangan kolektif dan semangat gotong royong. Namun, seiring waktu, penyelenggaraan lomba menjadi lebih terorganisasi. [ 1 ] Salah satu ketentuan yang tetap dijaga dalam perlombaan ini adalah kewajiban bagi joki untuk mengenakan udheng, yaitu ikat kepala khas Probolinggo, sebagai bagian dari pelestarian identitas budaya lokal.
Seiring waktu, minat masyarakat terhadap Kerapan Sapi Brujul mengalami peningkatan yang signifikan. Antusiasme ini mendorong terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang secara aktif menyelenggarakan perlombaan secara rutin. Tradisi ini mengalami perkembangan, terutama dalam aspek estetika dan teknis, seperti penggunaan busana megah bagi joki dan sapi, serta pelatihan intensif untuk menciptakan keselarasan antara sapi dan joki dalam perlombaan. Dengan demikian, Kerapan Sapi Brujul tidak sekadar menjadi ajang kompetisi, melainkan juga sarana pembinaan budaya dan keterlibatan sosial dalam pelestarian tradisi lokal. [ 2 ]
Perluasan tradisi ini mencakup berbagai wilayah di Kota Probolinggo, antara lain , , , , Pilang , dan ketapang . Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi Kerapan Sapi Brujul tidak hanya terpusat di wilayah perkotaan, tetapi juga mendapat sambutan luas hingga pelosok desa. Puncak acara ditandai dengan pemberian penghargaan kepada pemenang, yang diiringi prosesi arak-arakan menggunakan , khususnya kenong telok. Unsur musikal ini menambah nilai artistik dan simbolik dalam pelestarian budaya lokal.
Pada 18 Oktober 2019, Kerapan Sapi Brujul resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Penetapan ini memperkuat posisi Kerapan Sapi Brujul sebagai kekayaan budaya lokal yang sah milik masyarakat Probolinggo, sekaligus mencegah klaim budaya oleh daerah lain. Tradisi ini kini diakui sebagai bagian dari identitas kultural dan wujud keberagaman budaya di wilayah Probolinggo. [ 3 ]
Referensi
- ^ a b "Kerapan Sapi Brujul, Sebuah tradisi semacam kerapan sapi di Madura" . Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya . 30 Oktober 2019 . Diakses tanggal 2025-06-17. . ;
- ^ "Kerapan Sapi Brujul: Warisan Budaya Lokal dari Probolinggo" . Bolinggo.co . 09 Maret 2024 . Diakses tanggal 2025-06-17 . ;
- ^ Happy Lailatuansyah (4 Juni 2024). "Sejarah Kerapan Sapi Brujul Probolinggo, Bermula dari Petani yang Bosan" . Suara.hits . Diakses tanggal 2025-06-17. .