![]() |
Artikel ini
perlu
dirapikan
agar memenuhi
standar Wikipedia
.
|
Sumber referensi dari artikel ini
belum
dipastikan
dan mungkin isinya tidak benar.
|
Karangsari
|
|||||
---|---|---|---|---|---|
Negara |
![]() |
||||
Provinsi | Jawa Barat | ||||
Kabupaten | Garut | ||||
Kecamatan | Leuwigoong | ||||
Kode Kemendagri |
32.05.11.2008
![]() |
||||
Luas | - | ||||
Jumlah penduduk | - | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
Karangsari
adalah
desa
di kecamatan
Leuwigoong
,
Garut
,
Jawa Barat
,
Indonesia
. Desa Karangsari sendiri terdiri dari 11 RW (
Rukun Warga
) dan 27 RT (
Rukun Tetangga
) dan dibagi ke dalam 3 dusun
Sejarah
Sejarah Desa Karangsari tidak terlepas dari dua Kerajaan besar ditanah Jawa yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Pajajaran. Diawali oleh cara Kerajaan Mataram untuk memperluas daerah kekuasaannya yaitu dengan menikahkan putri dari Mataram dengan putra bupati dari daerah sekitar Mataram, agar menbuat kabupaten tersebut menjadi daerah kekuasaan Mataram atau dengan cara sebaliknya, yaitu dengan menikahnya Raja Mataram dengan putri bupati dari daerah lain. Dengan cara seperti itu membuat daerah kekuasaan Mataram semakin meluas.
Suatu hari raja Mataram mengadakan perjalanan jauh dari istana. Di suatu desa dia bertemu seorang gadis yang cantik, sang raja ingin mempersunting gadis tersebut dan memboyongnya ke istana. Ketika sang raja mengutarakan hal tersebut kepada orang tuanya, mereka dengan senang hati menyetujuinya, sang gadis pun diboyong ke istana untuk dinikahi oleh sang raja. Sebelum pernikahan dilangsungkan, sang gadis diberikan tempat menginap di kaputren, yang dilengkapi dengan emban dan pelayan. Hari demi hari dilalui oleh sang putri, kehidupannya di keraton yang serba mewah sama sekali tidak dinikmatinya. Sehari-hari sang putri lebih banyak melamun dan menyendiri. Tingkah lakunya itu diperhatikan oleh seorang emban yang ada disana. Emban tersebut menanyakan alasan mengapa ia selalu bersedih hati, sang putri menceritakan kalau sebenarnya dia telah bertunangan dengan seorang anak bupati Madiun yang bernama Raden Wijaya . Selama berada di istana, sang putri tidak bisa menghilangkan kerinduan terhadap tunangannya. Karena emban itu sudah merasa dekat dan kasihan terhadap sang putri, akhirnya ia menyanggupi untuk mempertemukan sang putri dengan Raden Wijaya secara sembunyi. Dengan perantara si emban, akhirnya sang putri bisa bertemu dengan Raden Wijaya, mereka berdua berjanji untuk selalu bersama kedepannya. Setelah pertemuan tersebut, sang putri dan Raden Wijaya melarikan diri dari istana. Setelah mereka berdua telah berada jauh dari istana, raja baru menyadari kalau mereka berdua sudah tidak ada di istana. Raja langsung memerintahkan pasukannya untuk mencari mereka berdua. Mereka berdua melarikan diri kearah barat dari istana. Sudah berhari-hari mereka menghindari kejaran dari pasukan Mataram tanpa mengetahui tempat yang akan mereka tuju, karena mereka tidak mungkin kembali ketempat asal sang putri dan mereka juga tidak mungkin kembali ke Madiun. Pada suatu hari mereka tiba di pinggir sungai yang besar, Sungai Cipamali. Sungai itu begitu besar dan aliran airnya sangat deras, mereka berdua sampai kesulitan untuk menyeberanginya, sementara itu pasukan Mataram semakin dekat. Ditengah kebingungan itu, mereka melihat ada seekor rusa yang terjerat semak belukar dan tanaman rambat. Mereka berdua melepaskannya. Ketika rusa tersebut berhasil lepas, mereka melihat sebuah gua yang tertutup oleh semak belukar dan sarang laba-laba. Mereka berdua pun bersembunyi di gua tersebut dan Tuhan menutup kembali gua itu. Pasukan Mataram tiba dipinggir Sungai Cipamali dan mereka merasa kebingungan karena tidak mungkin Raden Wijaya bisa menyeberangi sungai tersebut, mereka memeriksa di sekitar aliran Sungai Cipamali itu, tetapi mereka tidak menemukan apapun. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Sungai Cipamali dan menyisir kembali ke daerah yang telah mereka lalui, dengan harapan bisa menemukan mereka berdua. Setelah pasukan itu pergi, mereka berdua keluar dari persembunyian dan bingung, lantas kemana mereka akan melanjutkan perjalanan mereka itu. Ditengah kebingungan itu, mereka melihat seekor kerbau berwarna putih dan memiliki tanduk yang tergolek ke samping ( Bahasa Sunda: bule dongkol) yang sedang merumput. Mereka berdua mendekati kerbau tersebut, akan tetapi kerbau tersebut tidak takut dan malah seakan-akan menyuruh Raden Wijaya dan putri untuk mengikuti langkahnya. Perlahan kerbau tersebut berjalan kearah hilir dari Sungai Cipamali, mereka pun mengikutinya. Sampai disuatu tempat mereka menemukan aliran sungai yang dangkal dan kerbau itu pun menyeberanginya. Raden Wijaya dan putri seakan ragu untuk mengikuti langkahnya, tetapi di seberang sungai si kerbau seakan-akan menunggu mereka berdua untuk menyeberang. Raden Wijaya memberanikan diri untuk menyeberang, di ikuti sang putri. Mereka bertiga pun melanjutkan perjalanannya sampai ke dalam hutan. Tiba disuatu tempat, Raden Wijaya dan sang putri kehilangan jejak si kerbau, lagi-lagi mereka tidak tahu kemana perjalannya itu harus dilanjutkan. Samar-samar dari kejauhan mereka mendengar ayam berkokok sangat nyaring, mereka pun bergegas ke arahnya dan menemukan sebuah kampung kecil bernama Kampung Tarik Kolot, penduduk kampung itu merupakan warga Kerajaan Pajajaran yang berusaha untuk bermigrasi. Di kampung itulah Raden Wijaya dan sang putri diterima dengan baik, dan di kampung tarik kolot inilah mereka menikah dan disaksikan oleh seluruh penduduk Kampung Tarik Kolot. Sebagai rasa suka cita masyarakat atas pemrnikahan itu, Raden Wijaya diberi hadiah lahan untuk mendirikan rumah di manapun yang Raden Wijaya pilih. Raden Wijaya mengitari daerah di sekitar sana untuk mencari tempat yang cocok. Akhirnya langkah dia terhenti di depan sebuah pohon beringin besar yang sudah berlumut dan akar udaranya berjuntai sampai ketanah ( Bahasa Sunda: kiara baok ). Disamping pohon beringin tersebut itu terdapat sumber air yang bisa menjadi sumber kehidupan bagi mereka berdua. Raden Wijaya akhirnya mendirikan rumah di dekat pohon beringin tersebut dan tempat inilah yang diyakini sebagai tempat awal berdirinya Desa Karangsari. Masyarakat yang lain ikut membangun rumah di sana dan akhirnya wilayah itu menjadi sebuah desa dengan nama Desa Kiara Baok, karena wibawa dan kebaikan Raden Wijaya tersebar dari mulut ke mulut, nama Desa Kiara Baok terkenal dengan tanah yang subur serta memiliki pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga banyak yang ingin menetap di sana. Kepemimpinan Raden Wjaya memang di wariskan dari orang tuanya yang menjadi Bupati Madiun, sehingga ia memimpin Desa Kiara Baok yang kian lama kian bekembang.
Raden Wijaya dan sang putri memiliki dua orang putra, yaitu Raden Candraprana dan Raden Imam. Dalam sejarah disebutkan bahwa Raden Candraprana menikah dengan Raden Ayu Sumaentang yang merupakan anak dari Bupati Bandung, Raden lmam menikah dengan Putri Timbanganten dari Limbangan. Dari kedua putra Raden Wjaya inilah terlahir tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal masyarakat luas. Kedua putra Raden Wijaya ini memiliki keahlian yang berbeda-beda, Raden Candraprana cenderung menguasai bidang politik dan tata pemerintahan, sedangkan Raden lmam cenderung memiliki kemampuan dalam bidang agama.
Penamaan
Pada 1895 ketika Kepala Desa Kiara Baok adalah Raden Abdulah Sobandi, di tingkat kewedanaan dan di tingkat kabupaten nama Kiara Baok selalu menjadi guyonan. Untuk menghilangkan guyonan tersebut maka atas prakarsa Raden Abdullah Sobandi maka nama tersebut diubah menjadi Kiara Sari yang setelah itu menjadi Karangsari dengan harapan desa ini menjadi desa yang indah (Bahasa Sunda: Desa Anunyari) Raden Abdulah Sobandi sendiri merupakan salah satu kepala desa yang sangat berperan dalam perubahan tatanan Desa Karangsari dari desa yang tradisional menjadi desa yang maju, oleh karena itu ia juga dikenal dengan sebutan lurah bintang.
Daftar Kepala Desa
1. Rd. Abdulah Sobandi ( 1895 - )
2. M. Eyib
3. Mama Runawijaya
4. Rd. Palawira
5. Rd. Oto Kartawijaya
6. Bpk Ruhiyat
7. Rd. Eman Sulaeman
8. Bpk. lding lskandar ( 1960 - 1964 ) Kepala Desa Definitif
9. Bpk. Ejang Rohendi ( 1964 - 1965 )
10. Bpk. Maskin ( 1965 - 1968 ) pejabat sementara
1 1. Bpk. Aceng Hadin ( 1968 - 1980 ) Kepala Desa Definitif
12. Bpk. M. Olib ( 1980 - 1982 ) pejabat sementara
13. Bpk. Eutik Lukman ( 1982 - 1990 ) Kepala Desa Definitif
14. Bpk. Endang Wahyudin ( 1990 - 1991 ) pejabat sementara
1 5. Bpk. Baya Sunarya ( 1991 - 1998 ) Kepala Desa Definitif
16. Bpk. Mimin Sudarmin ( 1998 - 1999 ) pejabat sementara
17. Bpk. Endang Wahyudin ( 1999 - 2000) pejabat sementara
18. Bpk. Ase Rusbandi ( 2000 - 2008 ) Kepala Desa Definitif
19. Bpk. Hendi Rohendi Partamihafla ( 2008 - 2014 ) Kepala Desa Definitif
20. Bpk. Wawan Gunawan ( 2014 – 2015 ) Pejabat sementara
21. Bpk. Cepi Umarsidan ( 2015 – 2016 ) Kepala Desa Depinitif
22. Bpk. Wawan Gunawan ( 2016– 2016 ) pejabat sementara
23. Bpk. Ade Lukman, SP.n. Ro ( 2016 – Sekarang ) Kepala Desa Depinitif